Mohon tunggu...
Muh. Idris
Muh. Idris Mohon Tunggu... Insinyur - Belajar untuk mencurahkan ide, cerita dan gagasan dan menuliskannya

Hidup di Jakarta, tinggal di rumah mertua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Problematika Cinta Pegawai PLN

23 Oktober 2016   09:08 Diperbarui: 23 Oktober 2016   09:46 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nikah dan jomblo adalah 2 tema klasik tentang status seorang insan yang mungkin tak akan ada habisnya jika dibicarakan. Awalnya saya kira problema ini hanya ada dalam pergaulan pada umumnya tapi ternyata menjadi lebih kompleks di dalam dunia kerja, khususnya di perusahaan tempat saya bekerja. Perusahaan yang terpaksa saya sangat cintai dan amat saya banggakan, PLN. Ya, Perusahaan Listrik Negara bukan Perusahaan Lilin Negara seperti orang sering mempelesetkannya. Tapi percayalah, PLN akan berusaha untuk terus berubah menjadi lebih baik lagi. Ceileh. Uhui.

Stigma jomblo kini tereduksi dan mengalami peyorasi. Mungkin perubahan itu terjadi di 2-3 dekade terakhir (ini sotoy)  dimana kita sedang memasuki era gelombang ketiga (third wave) seperti apa kata Alvin Toffler dalam bukunya. Zaman dimana arus informasi dan teknologi begitu mendominasi dan dapat menggiring sudut pandang menjadi berubah sangat drastis dan sedemikian kejam. Nikah dan jomblo sudah dianggap seperti sebuah kepingan mata uang dimana nikah menjadi lawan dari jomblo dalam definisi yang rigid. Stigma itu demikian kuat hingga orang yang tidak nikah pasti dianggap jomblo dalam kesan yang negatif. Memang tidak sepenuhnya salah, tapi tidak sesederhana itu sebenarnya. Keberadaan jojoba (jomblo jomblo bahagia) jangan dikesampingkan di kehidupan yang fana ini. Ini bukan masalah hitam atau putih atau tentang benar atau salah.

Intinya, kemerdekaan memang sejatinya fitrah sebagai manusia dan itulah sejatinya jomblo. Namun, apa yang terjadi sekarang? Jomblo dianggap ngenes, blangsak, tak laku, jual mahal, kutukan bahkan takdir buruk dalam hidup. Padahal nikah itu kan pilihan dan bukan keharusan. Begitu juga jomblo. Itu pilihan (terakhir).

Dari beberapa paragraf prolog di atas yang cukup membosankan, lalu apa kaitannya dengan status sebagai pegawai PLN? Penasaran ya? Saya juga masih mikir apa ya hubungannya? Oke silahkan disimak.

PLN itu perusahaan BUMN yang sangat besar. Asetnya bejibun dan menggurita dimana-mana. Hampir di setiap pelosok negeri ini kita akan menemukan logo petir nyungsep ke dalam air (logo PLN). Bahkan di kota terpencil di balik gunung yang mungkin kita belum pernah mendengar sebelumnya. Saking besarnya, jumlah kantornya pun sangat banyak. Mungkin ada ratusan (atau bahkan ribuan?) kantor yang terdiri dari kantor pusat, induk, sektor, ranting atau kantor cabang-cabang lainnya yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote. Dari kantor bergedung mewah sampai kantor ala kadarnya. Menurut data statistik tahun 2015, Sumber Daya Manusia yang dimiliki PLN tidak kurang dari 40.000 pegawai. Warbiasa banyak bukan?

Dalam setiap rekruitmen pegawai baru PLN, setidaknya ada ratusan hingga ribuan pegawai baru yang diterima setiap tahunnya. Apalagi beberapa tahun belakangan ini. Program 35 GW ini memang menyerap banyak orang dengan berbagai latar belakang pendidikan. Bisa dipastikan bahwa penempatan pegawai akan disebar ke seluruh penjuru pelosok negeri ini. Jika bernasib baik, akan ditempatkan di kota-kota besar yang diinginkan atau di kota asalnya atau paling tidak satu pulau dengan kota asalnya. Tapi bagaimana dengan nasib teman-teman yang ditempatkan berjarak ratusan kilometer dari tempat asalnya, terhalang oleh gunung yang tinggi, lautan yang luas dan ganasnya ombak? Ya gak apa-apa juga sik. Mau tidak mau mereka harus menerima dengan (terpaksa) ikhlas dan lapang dada atau pilihan lainnya dengan mengangkat bendera putih alias mengundurkan diri.

Bagi beberapa pegawai, Tuhan memang terlalu sayang dengan mereka. Sudah di tempatkan jauh dari kota asal, jauh pula dari peradaban atau pusat kota. Berjam-jam ditempuh dari bandara setempat menuju lokasi penempatan. Mencari sinyal 3G pun susah bukan main apalagi 4G. Kalaupun bisa aktivasi paket combo gaul internet, sulit sekali mengaksesnya. Mungkin kalau ada yang menjual sinyal, pasti mereka akan beli sinyal sebanyak-banyaknya. Setidaknya untuk melawan kepenatan dan gundah gulana. Mengisi waktu kosong untuk sekedar update status dan posting foto selfie di social media atau untuk sekedar video call dengan kekasih nun jauh di sana. Tapi, yang pasti kondisi tersebut dapat menghemat pengeluaran. Maklum, arus informasi dan internet sudah menjadi kebutuhan pokok untuk orang-orang jaman sekarang. Sebagian dari kita mungkin menghabiskan sekitar 5-10% pendapatan untuk hal yang satu ini (ini sotoy juga).

Akibat terpisah jarak dan waktu serta keterbatasan sinyal, akses berkomunikasipun meredup. Jarang lagi melepon sang kekasih. Sesekali hanya SMS, itu pun delivered-nya yang lama nian. SMS dibalas namun konteks suasana sudah berbeda. Bertanya, “sudah makan siang?”, dijawab tengah malam. Kekasih yang berada di kota asal mulai berfikir dan mendifinisikan ulang cinta mereka yang sudah terajut indah sebelum penempatan. Perhatian berkurang, tak ada lagi SMS atau panggilan telepon. Semakin lama, perasaan itu mulai luntur dan berakhir tragis, “KITA PUTUS!”. Pakai tanda seru. Putus cinta diujung SMS tanpa sempat bertatap muka.

Galau melanda. Makan tak enak, tidur tak nyenyak tapi semangat mengabdi kepada masyarakat tak boleh menurun. Lagu “PLN abdi masayarakat. Bekerja dengan penuh tanggung jawab. Menyediakan listrik keseluruh pelosok tanah air serta layani kebutuhan kota dan pedesaaan...”, yang sudah melekat di sanubari, mengalir dalam darah harus tetap terealisasi.

Kemudian harus kembali menjadi manusia merdeka. Jomblo. Predikat jomblo disandang di pundak. Beberapa orang dapat bertahan lama dengan predikat ini, tidak sedikit yang melambaikan tangan ke kamera. Tak semua orang bisa menikmati kesendirian. Hanya orang-orang yang memiliki maqom makrifat yang bisa mencapainya. Bagi sebagian mereka, kesendirian bukan berarti sepi karena sejatinya kita selalu bersama sang Maha Pencipta (tsaaaaah...). Tapi, bicara seperti itu memang tidak semudah cocote pak Mario Bros. Butuh waktu untuk menutup luka lama, mengobatinya dan move on mengahadapi kembali dunia nyata.

Jomblo yang sebenarnya memiliki marwah dan martabat yang tinggi pada awalnya, berubah menjadi cibiran dalam abad milenium platinum uranium ini oleh sebagian orang. Oh sungguh kejam memang pergaulan generasi-Y ini. Sebenarnya jomblo memiliki nilai-nilai filosofis yang bagus, kalau menurut Kang Arman Dhani dalam tulisannya, jomblo itu kemewahan terakhir yang dimiliki oleh manusia. Kondisi dimana kita bisa merasa memiliki independensi tertinggi dan paripurna sebagai seorang manusia tanpa teror-teror pengguncang emosi seperti, “kok masih sendiri?”, “udah punya pacar belum?”, “siapa pacarnya?”, “sama anak mana sih?”, “kapan tunangan?”, “kapan menikah?” dan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang sebenarnya mungkin ingin kita jawab dengan “apaan sih nih orang??!”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun