Kiranya identitas diri yang melekat tidak begitu menguntungkan bagi seseorang. Identitas yang menjadi penanda eksistensi individual atau komunal itu ternyata memuat berbagai benturan kultural dan politis - sarat kekerasan. Identitas diri yang disubordinasikan dapat merampas kebahagiaan apapun dari kehidupan seseorang.
Identitas dapat memuat makna diskriminatif dengan segala ekses negatif, demikianlah tafsirnya bagi penulis buku Wladyslaw Szpilman. Dalam memoir yang ia tulis pada masa NAZI mencaplok Polandia di awal Perang Dunia ke-II, terungkap pengalaman pribadi nan pahit menyoal dirinya yang  berbangsa Yahudi. Catatan pribadinya itu lalu disinemakan dengan tajuk The Pianist (2002), sebuah film yang memang bukan baru lagi. Film ini mendapat penghargaan Oscar dan dianugerahi Palme d'Or dalam festival film Cannes 2002.
Film yang berdurasi 150 menit ini disutradarai oleh Roman Polanski. Aktor utamanya Adrien Brody berperan sebagai Wladyslaw Szpilman. Bintang-bintang lainnya seperti Emilia Fox sebagai Dorota, Michal Zebrowski sebagai Jurek, dan Ed Stoppard sebagai Henryk adik kandungnya Szpilman.
 Skenario film yang diinspirasi dari catatan Szpilman itu ditulis Ronald Harwood. The Pianist dibuka dengan sajian suasana kota Warsawa di tahun 1939 dan adegan Szpilman sedang bermain piano di sebuah stasiun radio Polandia.
Tiba-tiba terdengar ledakan bom, dan disusul kaca jendela yang pecah dengan serpihan yang melukai sang pianis. Kepanikan pun mulai terlihat. Orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing di tengah suasana kacau akibat bombardir yang dilakukan pasukan Jerman.
Pada saat Szpilman hendak keluar gedung, ia berjumpa Dorota adik sahabatnya Jurek yang mengaku sebagai penggemar permainan pianonya. Sang pianis lalu pulang. Di rumah ia melihat keluarganya sedang sibuk berkemas untuk menyelamatkan diri. Dalam suasana kalut, di rumah Szpilman dan keluarganya mendengar siaran radio BBC London Sepotong informasi penting memberitakan Inggris dan Perancis menyatakan perang terhadap Jerman. Ini berarti Polandia tidak sendiri lagi menghadapi kebrutalan tentara Jerman. Keluarga sang pianis merayakan berita gembira itu dengan makan malam bersama. Niscaya itu akan menjadi jamuan terakhir bagi mereka semua, karena harapan mendapat bantuan yang datang dari kedua negara tersebut rupanya kalah cepat dengan pergerakan pasukan Der Fuhrer yang mulai menguasai kota.
Diskriminasi Rasial
Jerman telah menguasai kota Warsawa. Dr. Fischer, Gubernur Warsawa mengeluarkan maklumat yang bagi kaum Yahudi di sana. Mereka diwajibkan mengenakan ban lengan bertanda bintang Daud biru berlatar putih ketika keluar rumah. Selain itu, Yahudi dilarang berada di fasilitas umum seperti taman, restoran dan kafe.
Szpillman yang sedang berjalan berdua Dorota terkejut dengan peringatan yang tertera di pintu sebuah kafe ketika mereka bermaksud minum kopi di sana – Yahudi dilarang masuk. Di lain tempat, ayah Szpilman dipukul salah seorang perwira NAZI yang berpapasan dengannya saat berjalan di trotoar karena alasan lupa menyapa mereka. Perwira itu juga mengingatkan ayah sang pianis agar jangan berjalan di atas trotoar. Pembatasan demi pembatasan dikeluarkan sebagai aturan yang wajib dipatuhi kaum Yahudi. Kepemilikan uang bagi masing-masing keluarga dibatasi sampai 2000 Zloty saja.
Ketika hampir setahun sudah pendudukan Jerman tepatnya pada 31 Oktober 1940, ratusan ribu Yahudi di Warsawa diwajibkan menempati pemukiman khusus bagi mereka - Ghetto. Di tempat ini, kaum Yahudi tinggal di dalamnya dengan berbagai kekurangan. Mereka hidup menderita, dan melakukan kerja paksa. Kelangkaan bahan makanan membuat mereka ringkih dan kelaparan. Sebuah adegan dalam film ini memperlihatkan seorang Yahudi lansia menjilati bubur yang tertumpah di tanah setelah secara paksa ia rebut dari tangan wanita tua.  Pemandangan mengerikan lainnya juga tampak di  sepanjang jalan. Tubuh-tubuh yang bersimbah darah, tergeletak mengenaskan setelah menerima eksekusi mati.
Dalam film berlatar-belakang sejarah Perang Dunia ke-II ini terlihat jelas betapa kemanusiaan jatuh pada titik terendahnya. Kedirian manusia dipandang amat hina, lebih rendah dari derajat hewan kuda yang masih diperlakukan selayaknya. Pembunuhan dan penyiksaan terhadap orang-orang Yahudi berdasarkan konsepsi pembedaan ras begitu lugas. Film ini sendiri digarap dengan teknik sinematografi berkesan hitam-putih, biografis historik tentang kenyataan getir penuh kekejaman yang sengaja ingin dihadirkan ke ruang kesadaran penonton. Ini bisa disaksikan terutama pada adegan tentara Jerman yang menembak orang Yahudi hanya karena kesalahan sepele, penjemputan paksa dari kediaman mereka untuk dideportasi dengan kereta api ke kamp konsentrasi Triblinka – fasilitas pembakaran hidup-hidup ratusan ribu Yahudi Polandia yang dibangun NAZI.