sebenarnya ia adalah seorang yang penuh kesadaran diri dan romantis.
meskipun ia juga laki-laki yang keletihan menghadapi dunia,
dan kehausan akan cinta.
tanpa secangkir kopi, di pagi buta yang basah
ia rayakan kesendiriannya. dan nada-nada dangdut yang biasa menemani
malah memicu asam lambungnya naik, kecut terasa di lidah.
kekasih hati kabur entah kemana, masih membayang di pelupuk mata, hingga mengeroposi dinding jiwa. baginya kini, kehidupan adalah kue tar dilapisi racun arsenik.
dan setiap gigitan akan meracuninya sedikit demi sedikit. akhirnya mati tercekik.
biarpun begitu ia sudah tidak lagi takut mati, katanya.
kehidupan membosankan lebih menakutkan daripada kematian.
namun dalam kesendirian menyeberangi sepi, ia seperti kupu-kupu kecil yang rapuh.
tak dirasakannya lagi ciuman pagi nan lembut bak lelehan es krim.
tak ada lagi kuntum bunga segar yang disusun tangan gemulai ke dalam jambangan.
hidup adalah debu yang bertaburan di udara, katanya takzim.
begini akhir ceritanya ditulis.
sebagai kisah rinai gerimis di atas kertas.
ironi kecil kehidupan serupa udara bertuba, terpaksa harus dihirup juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H