Citra diri (self-image) lebih erat berkaitan dengan cara pandang seseorang. Citra diri yang positif tentu saja meningkatkan rasa percaya diri, potensi diri pun akhirnya bisa dikembangkan secara maksimal. Bahkan orang lebih menghargai dirinya dan berupaya meningkatkan keterampilan apapun yang dapat mendongkrak nilai kepribadiannya (baca: harga diri).Dalam upaya ini, cara pandang realistis dengan dorongan sikap positif terhadap penilaian diri sendiri dan dunia luar (lingkungan tempat berinteraksi) dapat membantu seseorang secara efektif.
Salah satu faktor cukup penting menentukan sikap individual seseorang dalam memandang rendah dirinya sendiri adalah kesalahan masa lalu yang membekas. Biasanya orang dengan masa lalu kelam menjadi “hakim yang paling galak” terhadap dirinya sendiri. Ia percaya kesalahannya yang lampau memberikan akibat sepadan dengan apa yang dialaminya saat sekarang, seolah-olah “derita masa kini adalah pahala dari perbuatannya yang lalu”. Citra diri yang diciptakannya tentu saja begitu buruk. Alhasil, orang lain pun mengikuti cara pandang rendah terhadap dirinya itu dengan sedikit penyesuaian yang perlu.
Ambillah sebagai contoh, si – A harus menggembleng dirinya dengan mengikuti pendidikan hampir 5 tahun yang berkesan di sebuah lembaga pemasyarakatan karena kasus narkoba. Begitu masa hukumannya berakhir, ia pun keluar dari lembaga pendidikan bergengsi tersebut dengan segenap kesan dan penghayatan mendalam akan kesalahan yang diperbuatnya dulu. Ia melakukan sebuah upaya penyerapan diri (bahwa dirinya adalah seorang yang pernah dipenjara). Ada stigmatisasi diri yang diciptakan. Sebuah pelabelan yang melihat kualitas dirinya sebagai “barang rusak” yang tak layak guna. Akibatnya, ia minder ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya terdekat. Ia mengalami krisis rasa percaya diri yang membuatnya takut terhadap tanggapan negatif orang lain tentang dirinya sebagai “mantan orang hukuman”. Citra diri rendah menghantui sikap dan perbuatannya. Ditambah pula dengan pandangan orang-orang terdekat yang cenderung meremehkan kian membuat dirinya menarik diri.
Di lain kasus, misalnya si – B yang memiliki pengalaman berumah-tangga cukup menakjubkan. Perceraiannya dengan suaminya dulu sungguh disebabkan oleh godaan petualangan cinta, yang membuatnya nekat menjalin “asmara remang-remang” dengan lelaki idaman lain. Bahtera rumah-tangganya pun akhirnya tak bisa diselamatkan. Ia berpisah dengan sang suami, membulatkan tekad tak mau melibatkan diri dengan ikatan perkawinan yang dipandangnya cukup membelenggu kebebasan itu. Pengalaman traumatisnya memberikan sebuah saran teramat bijak. Saking bijaksananya saran tersebut, ia kini menjalani kehidupan bebas yang membuatnya tak bisa mengontrol diri sendiri. Berpindah dari satu pelukan lelaki ke pelukan lelaki lainnya lagi. Stigmatisasi yang diciptakannya sendiri adalah dirinya seorang yang nista berkepribadian rusak, lalu dibuktikannya dengan sikap dan perbuatan buruk pula. Orang lain pun akhirnya melihat dirinya itu dengan cara yang sama.
Masa lalu kelam menyebabkan seorang individu melakukan penyerapan diri. Ada bisikan-bisikan yang menghasut dirinya bahwa ia tak bisa lepas dari berbuat salah. Sikap menghormati diri sendiri pun akhirnya berkurang bahkan cenderung menghakimi dengan vonis citra diri negatif. Sungguh ironis, bukan?
Padahal seburuk apapun perbuatan seseorang tetap saja tersisa hal yang baik di dalam dirinya. Sikap dan perbuatan buruk dilakukan memang membuat orang bercitra diri negatif dan rendah. Sekalipun demikian, jika orang tersebut mau memaafkan dirinya sendiri, tindakan buruk di masa lalu tak perlu menjajah alam jiwanya. Lantas mengapa harus menjadi seorang pendendam terhadap diri sendiri? Bagaimana cara mengatasi kenangan traumatis yang menjajah seorang individu sehingga membuatnya berprilaku buruk dan mengakibatkan rendahnya citra diri? Mari simak sejumlah tips yang mungkin dapat membantu.
Hilangkan Stigmatisasi Negatif
Stigmatisasi negatif karena masa lalu kelam terhadap diri sendiri dalam wujud suara dari dalam (self-internal voice) cenderung membisiki seorang individu agar berpikir negatif. Ia cenderung sulit merubah cara pandangnya terhadap diri sendiri jika masih mendengarkan pelabelan diri teramat buruk tersebut. Jalan termudah untuk terhindar dari hasutan ini adalah dengan mengabaikannya. Selanjutnya, tanamkan dalam benak dan diri pikiran positif tapi realistis:
”Hidup saya amat berharga untuk disia-siakan. Ya, saya pernah berbuat salah. Tapi, itu bukan berarti saya harus hidup dalam beban berat kesalahan masa lalu. Saya harus bangkit dan merubah diri saya menjadi lebih baik saat ini.”
Menghilangkan stigmatisasi negatif merupakan cara membangunkan kesadaran diri, memutus ingatan buruk (pengalaman traumatis berbuat salah di masa lalu) agar bisa berpikir positif. Pengabaian hasutan dari dalam bermaksud untuk memulai perubahan cara pandang untuk memberikan konsep diri yang lebih positif. Hal ini membantu seorang individu ketika mengatasi hambatan internal agar dapat melakukan yang terbaik bagi dirinya dan menanggapi keadaan di sekitar (termasuk keusilan ucapan orang-orang yang membuat diri minder) dengan lebih bijak. Memberi keyakinan pada diri sendiri bahwa ia bagai ”mutiara yang akan tetap berkilau sekalipun pernah mendekam di lumpur hitam.”
Hindari Dramatisasi yang Tak Perlu
Melebih-lebihkan hal negatif yang ada pada diri sendiri karena kesalahan yang lampau sangat tidak perlu, misalnya dengan menciptakan suara dari dalam begini:
”Saya telah membuat kesalahan itu. Akibatnya sekarang saya jadi seperti ini. Saya tak akan pernah bisa memperbaiki diri sendiri. Diri saya adalah masa lalu saya yang hitam.”
Jangan melakukan pembesaran kadar kesalahan yang pernah dilakukan sebelumnya. Manusia sungguh tak pernah bisa lepas dari kekhilafan. Namun, sungguh ketidak-sempurnaan diri yang menyebabkan berbuat salah adalah wajar saja. Tentunya tak perlu didramatisir setiap saat.
Hentikan Pikiran Negatif Sejak Awal
Baik sekali menghentikan berpikir negatif dari sejak semula pikiran itu muncul. Umpamanya hal ini seperti membentak seseorang ketika akan memberikan penghinaan. Katakan pada suara internal yang mengajak untuk berpikir negatif itu dengan gertakan begini:
”Hentikan!” Tak bisakah mengatakan hal yang baik-baik saja?”
Suara dari dalam yang bernada negatif itu sungguh mampu menstimulir berpikir negatif jika tidak dicegah dari awal. Selanjutnya, perbuatan salah di masa lalu akan lebih mudah dihayati dengan kegetiran yang melekat sepanjang hayat dikandung badan.
Jangan Mengintimidasi Diri Sendiri
Ada ungkapan yang mengatakan: ”Orang yang berniat bunuh diri selalu menemukan cara menuju tiang gantungan.”
Kesalahan masa lalu yang belum bisa dilupakan terus membayangi diri seorang individu. Seperti si-A yang tak henti-hentinya mengintimidasi diri, suara dari dalam diri terdengar seperti bentuk sesal berkepanjangan :
”Kalau dulu saya tidak melakukannya, pasti saat ini saya akan ...” atau ”Dulu saya seharusnya tidak begitu. Inilah akibatnya!”
Bentuk kritik destruktif kepada diri sendiri yang menyesal berkepanjangan sungguh menyita energi positif untuk memulai perubahan diri. Meskipun melihat kesalahan masa lalu juga penting untuk bahan introspeksi, tapi melakukan intimidasi pada diri sendiri dalam sebentuk perasaan bersalah yang menekan adalah benar-benar tak wajar. Hindari sikap menyesal yang tak perlu itu. Terima keadaan diri yang ada, dan tetap berupaya membuat perbaikan dengan dorongan pikiran positif. Sebab, mengintimidasi diri dalam bentuk sesal berkelanjutan sesungguhnya bentuk lain dari menghukum diri setelah fakta menyakitkan diterima. Ada baiknya si-A melihat masa lalunya dengan selera humor yang cukup menyegarkan sebagai pengalihan, misalnya:
”Sampai saat ini saya heran sekali. Mengapa majelis hakim hanya bisa menjatuhkan vonis untuk pelanggaran hukum yang saya lakukan? Mengapa mereka tak mau menemani saya selama dipenjara? Padahal, kan, itu ide mereka menjebloskan saya ke penjara selama hampir 5 tahun. Mestinya mereka juga tinggal bersama saya. Berbagi kesenangan seperti bermain ular tangga seharian atau petak-umpet.”
Mengganti Kritik dengan Dorongan
Mengomeli diri sendiri dengan mencurahkan perhatian pada hal yang negatif (dilakukan di masa lalu) sangat tidak bermanfaat. Kritik pada kesalahan yang penah diperbuat boleh diberikan tapi yang bersifat konstruktif dengan tanpa rasa sesal yang menekan, si-A, misalnya, bisa mengkritik diri sendiri dengan berkata:
”Tak sia-sia saya menghabiskan waktu di penjara selama hampir lima tahun. Lihatlah saya kini bisa berkarya dengan kualitas yang tak kalah dengan karya orang lain dalam bidang yang sama. Saya harus lebih giat lagi supaya karya saya bisa semakin berkualitas tinggi.”
Dorongan penuh semangat hidup dari dalam diri biasanya lebih cepat membuat seseorang lepas dari sesal masa lalu. Ia bisa melakukan perbaikan diri ke arah yang lebih baik lagi. Karena, kesalahan itu mencerahkan dan orang biasanya jadi jeli memetik hikmah.
Kenali Aset Kepribadian yang Dimiliki
Hal-hal yang baik dalam kepribadian seseorang sungguh merupakan asetnya yang paling berharga. Bentuknya bisa sebagai watak yang khas melekat pada diri seperti :
- Kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan yang baru.
- Kemampuan tinggi untuk mengeksplorasi sesuatu yang menarik karena berjiwa petualang.
- Kemampuan mencurahkan kasih-sayang sehingga memiliki sifat penyayang.
- Pantang menyerah dalam mencapai tujuan yang membuat diri ambisius.
- Peka terhadap keindahan artistik sehingga menjadikan diri sebagai seorang berjiwa seni.
- Memiliki banyak ketrampilan praktis sehingga membuat diri sebagai orang yang cakap.
- Bisa memusatkan perhatian penuh pada apa yang dikerjakan yang menjadi diri seorang yang fokus.
Dan banyak lagi lainnya.
Ketika seseorang bisa menemukan hal-hal baik yang sebenarnya telah ia miliki sejak lama, ia bisa memanfaatkannya untuk mengidentifikasi dirinya kembali dengan cara pandang yang positif dalam rangka upaya memperbaiki diri. Hal-hal yang baik membantu membangun rasa percaya diri sehingga dapat digunakan untuk mem-format ulang pola pikir ke arah yang produktif ketimbang memberikan label diri negatif karena kenangan buruk di masa lalu. Menanamkan ke dalam pikiran sebentuk pandangan ke depan bisa dimulai, dalam kasus si-A, ia bisa mengatakan pada diri sendiri:
”Saya orang yang mudah beradaptasi. Saat ini saya baru keluar dari penjara karena kenakalan saya di masa lalu. Tapi, mengingat keadaan di luar sini udara begitu segar dihirup, saya pasti bisa berpikir kreatif untuk memperbaiki diri. Puji syukur kepada Tuhan!”
Tentu masih banyak lagi tips-tips yang berguna untuk membangkit diri individu dalam upaya menciptakan citra diri positifnya setelah melewati trauma kesalahan masa lalu. Meskipun demikian, yang paling utama adalah menghormati diri sendiri, tidak memberikan stigmatisasi buruk terhadap diri walaupun pernah berbuat kesalahan sebelumnya, dan meredam suara dalam diri bernada negatif yang mengarah pada penilaian rendah terhadap diri sendiri tetap bisa menjadi panduan yang baik. (M.I)
(*) Ilustrasi gambar sepasang kaki saya berasal dari dokumen pribadi
(**) Artikel ini bisa juga dibaca dalam format e-book
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H