SIDOARJO IS TRULY (KUALA) LUMPUR
*Muhammad Fauzinuddin
Haule haule, haule haule
Haule haule, haule haule
Haule haule se hawa lagti hai
Haule Haule se dawa lagti hai
Haule Haule se dua lagti hai
Naaa….
Haiii… Haule Haule se chanda badtha hai
Haule Haule ghoonghat utha hai
Haule Haule se nasha chadtha hai
Naaa…
Pagi tadi, saya terperanjat kaget dari tidur disaat saya mendengar nada alarm HP yang memang sebelumnya saya setting untuk memudahkan saya untuk bisa makan makanan sahur (hehehe mumpung bulan rajab) dengan lagu khas india Rab Ni Bana Di jodi pada pukul 03.00WIB. Setelah saya mencoba mematikan nada alarm ternayata dalam layar hp sudah ada tiga pesan masuk dan satu panggilan yang tidak terjawab dengan menggunakan jurus siluman dari gua hantu (maksudnya privat number), hehehehe.
Saya sempat senyum-senyum sendiri, bukan karenaada siluman tidak bertanggung jawab itu, melainkan tersenyum membaca salah satu dari tiga pesan itu yang isinya kurang lebih begini :
“MAHATHIR, anda boleh bangga karena malaysia disebut-sebut sebagai ‘Malaysia is Truly Asia’, akan tetapi pemerintah kita jauh lebih hebat, karena berkat tokoh si beringin kuning pemerintah mampu membuktikan bahwa ‘Sidoarjo is Truly (Kuala) Lumpur.”
Kalau dipikir-pikir sich betul juga. Hingga kini, kasus sumur panas lapindo sudah memasuki tahun ke-7, tapi upaya untuk menghentikannya tidak kunjung jelas hasilnya. Malahan lebar kuala lumpur pun semakin bertambah. Genangan semakin lebar, nestapa warga pun tak kunjung terhenti begitu saja. “ini jelas membuktikan bahwa ini benar-benar kuala lumpur yang asli.”
Ketika saya hendak pulang ke kampung halaman (jember indah nan mempesona, he...) pasti ketika hendak melewati jalan di daerah lapindo selalu macet, terkadang satu jam bis masih bersemedi disitu tanpa ada gerak sedikitpun. Disitu saya sempat mikir betapa pemerintah begitu lamban menangani persoalan, suatu persoalan yang lahir dari ulah manusia, bukan dari ulah alam. Ini tentu berbeda dengan bencana yang datangnya dari alam. Suatu keanehan, ketika menangani bencana alam sangat lambat, menangani bencana karena ulah manusia pun juga tak kalah lambat.
Lebih aneh lagi, dari semua bencana itu yang mencuat hanyalah janji-janji terhadap warga korban bencana. Dan janji-janji itu pula yang seringkali menjadi bencana berikutnya, dengan dampak yang pastinya tidak kalah besar.
Beruntunglah, rakyat masih menyimpan sejumlah kearifan menyikapi para pimpinan yang kurang sigap. Plesetan, guyonan, kelakar, pasemon, dan parikan pun menjadi oase dan katub kemarahan mereka. Teknologi seluler maupun internet menjadi ajang bagi pelampiasan itu. Mereka bisa saling kirim ‘kemarahan’ via internet dan HP. Tapi, itu semua bagi warga yang memiliki kemampuan berseluler dan akses internet. Lalu bagaimana dengan warga yang sama sekali tak punya katup pelampiasan semacam itu??? saya juga tidak tahu jawabannya karena yang tahu hanya warga sekitar (kuala) lumpur. #_#