Mohon tunggu...
Muhammad Faisal
Muhammad Faisal Mohon Tunggu... -

Programmer

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa

28 Oktober 2014   02:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:30 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

86 tahun yang lalu, pemuda-pemuda bangsa Indonesia, yang merupakan wakil dari berbagai organisasi pemuda, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celees, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, dan berbagai organisasi pemuda lainnya berkumpul dalam sebuah kongres. Kongres itu dikenal sebagai kongres pemuda kedua.Pada hari itu, Minggu, 28 Oktober 1928, kongres yang diadakan di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Tokoh-tokoh generasi muda bangsa Indonesia mengungkapkan pentingnya generasi muda untuk mendapat pendidikan kebangsaan, dan keseimbangan antara pendidikan formal (di sekolah) dan informal (di rumah). Selain itu, tokoh-tokoh pemuda berpendapat, bahwa generasi muda harus dididik secara demokratis. Pada kongres itu pun, sebelum kongres ditutup, diperdengarkan lagu Indonesia Raya karya Wage Rudolf Supratman. Lagu itu kemudian kita kenal sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Kongres pun ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres, yang dikenal sebagai Sumpah Pemuda.

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Peristiwa itu menjadi salah satu tonggak kebangkitan perjuangan pemuda bangsa Indonesia dalam mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Generasi muda tidak hanya berpangku tangan, namun juga ikut serta dalam mewujudkan kemerdekaan yang telah diidam-idamkan oleh bangsa ini.

86 tahun pun berlalu, apakah semangat patriotisme generasi muda masih sama seperti generasi muda 86 tahun yang lalu? Apakah mereka, mampu untuk memberikan sumbangsih bagi negeri ini?. Di zaman yang sudah modern, para pemuda tidak perlu ikut serta dalam berperang melawan penjajah. Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnnya, yang masih harus mengangkat senjata untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Apakah kita, generasi muda saat ini, dapat memberikan sumbangsih yang sebesar itu?

Jujur, saya pun ikut prihatin dengan perilaku generasi muda saat ini. Hanya dapat bermalas-malasan, sering sekali membolos dari sekolah. Merokok, tawuran, dan perkelahian merupakan hal yang biasa. Berbagai macam penyimpangan sosial mereka lakukan. Seolah-olah, di negeri ini tak ada nilai dan norma yang berlaku. Semua seenak mereka. Seolah dunia ini miliknya, dan yang lain hanya ngontrak.

Selain itu, budaya bangsa Indonesia telah luntur oleh generasi muda saat ini. Generasi muda, lebih bangga dengan budaya-budaya luar negeri. Budaya negeri sendiri mereka lecehkan. Kampungan, katanya. Padahal, beberapa budaya kita telah masuk sebagai cagar budaya yang dilindungi. Ingat, dilindungi. Bukan bangsa lain yang harus melindungi, tapi dari bangsa kita. Dari diri masing-masing. Kalau bukan oleh kita, siapa lagi?

Menurunnya kualitas moral pelajar pun ditandai dengan banyaknya tawuran. Bahkan hingga meninggal. Ingatkah anda pada kasus tawuran antara SMA Negeri 6 Jakarta dengan SMA Negeri 70 Jakarta yang menewaskan seorang siswa? Itulah dampak dari bobroknya sistem pendidikan saat ini. Nyaris tidak ada upaya untuk perbaikan kualitas karakter bangsa ke depannya. Memang, pemerintah sedang menggalakkan program pendidikan karakter. Namun, hal tersebut nampaknya belum dapat diserap oleh sebagian siswa. Saya juga malu, melihat rekan-rekan pemuda saat ini, banyak sekali yang melakukan penyimpangan norma dalam bidang (maaf) seksual. Banyak orang yang bangga dengan statusnya sebagai homoseksual. Sampai-sampai dipublish di social media, seperti twitter, ask.fm, dan media sosial lainnya. Fansnya pun banyak. Jadilah ia sebagai artis social media. Para pengkritiknya dianggap iri, karena tidak bisa menjadi homoseksual. Kami bukannya iri, kami hanya mengoreksi kesalahan kalian. Apakah kritik yang membangun dapat dikatakan sebagai iri hati?

Selain itu, generasi saat ini lebih suka menggunakan bahasa asing, meskipun mereka tidak mengerti artinya. Asal menggunakan bahasa asing, dianggap gaul, dianggap keren, meskipun kata-kata yang digunakannya kadang bad english, tidak sesuai kaidah dan tata bahasanya. Daripada memalukan seperti itu, bukankah lebih baik menggunakan bahasa Indonesia saja, sebagai bahasa persatuan bangsa Indonesia.

Generasi muda, saat ini ujian menanti di depan kalian. Era globalisasi membutuhkan kualitas SDM yang baik, dan juga mempunyai karakter yang baik. Saatnya untuk berbenah, lakukan yang terbaik untuk negeri ini. Lakukan untuk membuat negeri ini semakin baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun