Mohon tunggu...
Muhammad Arief Rosyid Hasan
Muhammad Arief Rosyid Hasan Mohon Tunggu... -

Aku adalah aku. Banyak kurang, sedikit lebihnya. Masih belajar menyempurna. Yakin Usaha Sampai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Memilih Masa Depan

12 Juni 2012   08:33 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:04 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Riuh suasana membekas, menyisakan gejolak yang kupikir tak akan pernah padam. Sejak ber-HMI, saya mengenal suara ramai anak dengan karakter yang beragam. Tentu pendidikan keluarganya yang menjadi faktor dominan mempengaruhi mereka.

Istilah bakti sosial, kerja sosial, sekolah binaan, dan sebagainya perlahan tapi pasti membentuk masa depan kami yang senang untuk hidup ditengah banyak orang. Sekedar berbagi pengetahuan, mempraktekkan pengetahuan, atau juga sekedar berbagi senyum. Ya, berbagi sekedarnya.

Konon, para founding fathers kita seperti Tjokro, Agus Salim, Tjipto, Soekarno, Hatta, Tan Malaka, dan kawan-kawan adalah seorang sosialis yang gemar bersusah-susah dengan rakyatnya. Mereka lahir dari iklim yang mungkin tidak nyaman. Mereka 'besar' dari suasana yang 'kecil'.

'Besar'nya mereka tentu tidak sesederhana memaknainya bahwa mereka telah memperoleh takdir untuk 'besar', tapi 'besar'nya mereka adalah hasil memilih dari berbagai pilihan hidup. Varian pilihan yang masing-masing memiliki kebaikan juga keburukan.

Memilih tentu bukan perkara mudah. Memilih bagi sebagian orang adalah dengan merasionalkan banyak hal. Juga, memilih untuk menghindari konsekuensi yang dianggap tidak mampu dijalani dengan baik. Entahlah, dalam konteks sosial, memilih adalah bentuk ikhtiar untuk melebur keakuan.

Tentang masa depan adalah misteri mungkin ada benarnya. Masa depan adalah menarik benang merah masa lalu hingga masa kini, kemudian berlari sekencang-kencangnya. Jika berlari dengan 'baik' tentu akan bermuara kebaikan pula. Meski tak jarang kita temui banyak kerikil mungkin juga batu gunung yang seenaknya menghadang.

Sedianya sebagai makhluk yang 'hidup', kita akan selalu punya jalan atas segala hal yang mungkin berat juga sulit. Kesulitan lagi keberatan bahkan mungkin juga buntu, meniscayakan adanya pilihan lain! Berbalik arah atau mungkin sekedar berbelok!

Entahlah, teorinya begitu! Berpraktek tentu lebih sulit dari sekedar berkata-kata!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun