68 tahun bangsa Indonesia melewati fase kemerdekaanya. Sepanjang hampir 7 dasawarsa berlalu, kehidupan bangsa tak kunjung sejahtera dan makmur sebagaimana didedahkan dalam konstitusi. Bahkan nyatanya, ketimpangan pembangunan selama ini makin berjarak. Si kaya makin kaya. Si miskin makin kesusahan. Pengemis, gelandangan, anak-anak terlantar makin banyak memenuhi perempatan-perempatan traffic light.
Bukti ketimpangan pembangunan yang makin mengangga dapat dipotret dari risalah majalah Forbes 23 November 2011 lalu.Dalam majalah ini diungkapkan bahwa total kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia mencapai 84,82 miliar dollar AS atau 761,7 triliun. Ini artinya, 10 persen dari nilai total PDB Indonesia hanya jadi milik 40 orang saja. Dalam ukuran koefisien gini, ketimpangan distribusi pendapatan juga makin melebar semenjak angka koefisien gini mencapai angka 0,40. Indonesia masuk dalam ketimpangan kelas menengah.
Ketimpangan pembangunan juga makin diperparah dengan titik berat pembangunan yang masih Jawa sentris. Hal tersebut nampak dari kontribusi nilai PDB Indonesia yang disumbangkan dari Pulau Jawa mencapai 60 persen.
Problematika yang tidak kalah menakutkan adalah virus korupsi yang makin mencengkram. Desentralisasi disinyalir membuat distribusi korupsi juga mewabah didaerah. Kemendagri selama 2004-2012 mencatat 173 kepala daerah yang terseret kasus korupsi. Selain besarnya kewenangan yang diperoleh, politik uang saat suksesi pilkada langsung didiagnosa jadi sumbu masalahnya. Kepemimpinan akhirnya bukan soal ketauladanan. Tapi jabatan dan kekuasaan.
Menatap kedepan, untuk menjawab banyak prediksi “angin surga” bahwa Indonesia akan masuk jajaran 10 besar negara kaya melampaui Jerman dan Inggris (Mc Kinsey. 2012). Banyak hal yang perlu diperbaiki, ditata ulang. Termasuk soal nasionalisme. Sebab dalam kerangka inilah, negeri dengan kurang lebih 17.000 pulau, ratusan suku bangsa yang mempunyai akar budaya, pandangan hidup, karakter, dansikap menyatu dalam imajinasi bersama tentang kemakmuran.
Satu Jiwa
Diuji dengan beragam problematika kehidupan, melihat realitas kehidupan berbangsa yang makin jauh dari kemakmuran. Ditambah dengan kehidupan masyarakat yang serba permisif, merebaknya apatisme, gejolak anarkisme atas nama agama, hingga lembaga-lembaga pengambil kebijakan yang makin oligarkis. Nasionalisme terasa makin pudar dan kehilangan makna. Nasionalisme bahkan dibajak untuk melanggengkan kekuasaan demi keuntungan yang bersifat pribadi.
Memori nasionalisme terasa makin usang dan ketinggalan zaman, ketika Pancasila sebagai sais komando jalanya kehidupan berbangsa dan bernegara mulai ditanggalkan.
Karena itu, sebelum jauh bergerak. Ruh nasionalisme yan berisi ingatan sejarah yang melibatkan dimensi-dimensi emosi, perasaan senasib dan sepenanggungan untuk mencapai impian bersama menuju kemakmuran musti digelorakan.Diingatkan kembali. Sebab bangsa, kata Otto Bauer adalah suatu persatuan perangai yang terjadi dari persatuan hal ihwal yang telah dijalani secara bersama. Dimana didalamnya memuat jiwa dan prinsip untuk mengikatkan diri dalam kebersatuan dan kebersamaan.
Konsepsi ini kembali harus ditanamkan. Didoktrinasikan agar rasa persatuan dan kesatuan tidak hanya dalam rasa, slogan maupun wacana saja. Melainkan dalam satu tindakan yang nyata, dalam jejak langkah yang sama.
Dengan demikian gelora nasionalisme tidak mampat dalam kalimat jinggle-jinggle saja. Tetapi meluncur deras sebagai ikhtiar bersama untuk saling tolong menolong dan bekerjasama mencapai kemakmuran dan keadilan baik dalam pengorbanan maupun kebersamaan. Penguatan nilai-nilai dasar ini menjadi sangat urgent mengingat banyaknya permasalahan yang mengoyak akar nasionalisme kita.
Penguatan akar nasionalisme ini menjadi pintu masuk untuk menjadikan cita-cita bersama tidak sebatas dalam imajinasi pikiran belaka. Namun, nasionalisme tersebut terejewantahkan dalam apa yang disebut Benedict Anderson sebagai Imaged Communities, komunitas-komunitas terbayang. Sebuah simpul komunitas yang lahir dari pergulatan-pergulatan pemikiran, impian, tradisi, kekuatan politik yang dibaluri dengan persahabatan yang kental, kuat, dalam dan mengakar.
Maka dari pada itu, nasionalisme merupakan cerminan dari sikap dan tindakan yang memberikan penghargaan sebesar-besarnya kepada seluruh komponen yang menyatu dalam rasakebersamaan secara berkeadilan. Tanpa tedeng aling-aling.Nasionalisme sejati, kata Sukarno memberikan rasa cinta yang lebar dan luas, memberikan tempat bagi yang lain selebar dan seluas udara yang memberikan ruang bagi kehidupan.
Revolusi Belum Selesai
Berpijak pada peta permasalahan yang terkandung dalam Indonesia kini. Peringatan 17 Agustus 2013, setelah dimulai dengan mengingatkan kembali soal akar nasionalisme yang mulai luntur diterpa beragam ujian sejarah. Harus dilanjutkan dengan ditelurkanya berbagai kebijakan-kebijakan yang berakar pada kemandirian bangsa.
Kebijakan-kebijakan pembangunan yang memihak sepenuhnya kepada realitas masyarakat Indonesia. Bukan kebijakan yang menguntungkan investor asing, pengusaha besar, maupun para pemodal yang mencari untung di Indonesia. Pemerintah dalam kaitanya ini, harus berani digarda depan membela masyarakat Indonesia yang sebagai besar menggantungkan hidupnya di lahan-lahan pertanianmaupun di laut.
Tak ada pilihan lain. Menurut penulis, menyejahterakan Indonesia nanti harus dimulai dengan, pertamaMenelurkankebijakan-kebijakan pembangunan yang berpihak ke sektor pertanian dan kelautan. Produk-produk pertanian harus diproteksi. Subsidi untuk petani dalam bentuk pupuk dan bibit harus ditambah. Sehingga semangat petani untuk meningkatkan kinerjanya tetap tinggi.
Selain itu, sebagai bangsa maritim, dimana hampir 70 persen wilayahnya adalah lautan. Sudah semestinya, pemerintah menaruh perhatian besar pada sektor ini. Masih banyak potensi laut yang belum digali, dioptimalkan dan dieksplor lebih dalam.
Kedua, pekerjaan rumah besar pemerintah yang tak boleh ditanggalkan adalah memberdayakan masyarakat dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan yang masih rendah. Menurut data BPS, tahun 1994 dari 92,1 persen siswa SD hanya 50 persen yang melanjutkan ke jenjang SMP; 33,2 persen ke jenjang SMA dan hanya 7,9 persen yang mencapai pendidikan tinggi. Memasuki tahun 2009 angka ini memang naik, dari 94,4 persen siswa SD; 67,4 persen melanjutkan ke SMP; 45,1 persen sampai lulus SMA dan 10,3 persen melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Namun, bila dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya (Malaysia, Filipina dan Singapura) capaian pendidikan tinggi Indonesia tergolong sangat rendah. Menurut World Bank,pada 2007 siswa yang melanjutkan hingga pendidikan tinggi di Malaysia mencapai 20,3 persen, Filipina 27,7 persen, dan Singapura 23,7 persen.Indonesia, pada 2009 baru mencapai 10,3 persen. Maksudnya, kualitas SDM yang rendah akan jadi momok menakutkan menghadapi persaingan global.
Karena itulah, dengan dukungan sumber daya manusia yang berkualitas, proteksi pada sektor pertanian, serta sektor kelautan yang dapat digarap dengan maksimal. Akan jadilandasan pacu kebangkitan Indonesia.
M Arief Rosyid Hasan, Ketua Umum PB HMI Periode 2013-2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H