Mohon tunggu...
Muhammad Alim
Muhammad Alim Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sang Pendamba Surga. Memohon ridho Allah dalam setiap langkah dan tarikan napas.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Salam Bahagia ala Saya

4 Juni 2013   18:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:32 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Saya memberi judul artikel di atas dengan judul “Salam Bahagia Ala Saya”. Mudah-mudahan Bung Ninoy N Karundeng tidak mendaftarkan hak ciptanya tagline salamnya, mohon maaf yah saya pinjam kali ini saja !!!.

Apa sih definisi bahagia itu ?. Menurut kamus bahasa Indonesia, bahagia adalah keadaan atau perasaaan senang dan tenteram ( bebas dari segala yang menyusahkan). Jadi dua faktor yang saling berkaitan, yaitu senang dan tenteram. Jadi jelaslah bahagia itu adalah soal rasa. Adalah bagaimana kita memperlakukan rasa. Rasa itu akan menstimulus raga. Bahagia menurut orang lain tentu akan sangat berbeda menurut kita. Apakah bahagia itu berbanding lurus dengan apa yang kita dapatkan ? . Saya lebih cenderung memaknai bahagia itu akan berbanding lurus dengan apa yang kita nikmati dan syukuri.

Perbincangan bahagia ini malah saya dapatkan dari pembicaraan saya dengan pengemudi perusahaan tempat saya bekerja. Kebahagiaan versi orang yang hobby mancing , terdefinisi seiring dengan getaran dari tarikan ikan yang mulai memakan umpan, sedangkan untuk seorang pegolf, pastinya kebahagian itu akan didapat pada saat berhasil melakukan hole in one misalnya. Untuk menghasilkan kebahagiaan itu , kedua orang itu pastinya akan mengeluarkan ongkos yang berbeda.Walau sebenarnya money can buy everything but happiness.

Apakah pemilik mobil Ferarri akan lebih bahagia ketimbang pengendara sepeda ontel?, atau orang yang menikah lebihbahagia ketimbang seorang lajang?. Atau bahkan Carlos Slim, konglomerat Mexico lebih bahagia dari saya yang hanya seorang karyawan?. lagi-lagi  masalah rasa yang bermain-main dalam hati kita. Tolok ukur “Kepunyaan” terasa absurd bila disandingkan dengan kata “Kebahagiaan”. Masing-masing berdiri didomainnya sendiri. Dimensi kepunyaan / kepemilikan adalah dimensi struktural sedangkan kebahagiaan adalah wajah kultural. Kepemilikan/ Kepunyaan itu adalah bangunan dan kebahagiaan adalah isinya. Bangunan yang luas belum tentu penuh isinya. Yang sengsara adalah sudah bangunannya sempit isinya sedikit.

Pada saat senggang di hari libur, seringkali saya menelusuri kampung-kampung di daerah saya, sekitar Sukabumi . Pagi hari, warga bercengkerama dengan santainya, minum kopi dan melahap beberapa potong ubi rebus. Raut wajah mereka memancarkan kebahagiaan, jauh dari rasa penat, walau sebenarnya mereka mempunyai permasalahan. Dari merekalah, kadang saya belajar untuk memahami kehidupan ini. Di zaman yang serba matrealistik. Masih ada kehidupan yang alami, di suatu tempat yang kadang kita anggap “tidak modern”.

Masyarakat yang benar-benar guyub. Bukan hanya bertemu raga, tapi juga hati. Bukan silaturahmi yang sering diganggu oleh sebuah gadget telekomunikasi. Namunsilaturahmiyang manusiawi.

Jelaslah, semua orang ingin bahagia termasuk saya.

By the way, saya, insya Allah lebih bahagia dengan satu istri, ketimbang Eyang S****r. Pissss yah Eyang !!!.

Salam Bahagia. Bagaimana dengan Anda ?.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun