Final Piala Champions 1999, antara MU VS Bayern Muenchen, tentu masih menyisakan kenangan yang teramat manis bagi fans MU atau penggila sepak bola umumnya, termasuk saya. Boleh jadi merupakan final terindah dan paling dramatis piala Champions bagi penggemar sepakbola (di samping final Champions Liverpool vs AC Milan tahun 2005). Betapa tidak, sampai menit ke 90, saat memasuki injury time, kedudukan masih 1-0 untuk Bayern Muenchen. Para pemain cadangan Bayern Muenchen bergandengan tangan sambil melompat-lompat, dan bergegas bersiap-siap untuk merayakan kemenangan. Beberapa fans Die Roten malahan sudah meluncurkan kembang api dan bersuka cita, seolah-olah Piala kemenangan sedang diparadekan di markas mereka.
Alex Ferguson (belum bergelar Sir waktu itu), dengan raut muka tegang, memberikan instruksi kepada para pemainnya di pinggir lapangan. Beberapa supporter MU bahkan sudah beranjak dari kursinya untuk berjalan pulangsambil menatap ke belakang melihat lapangan dengan muka kosong dan sebagian fans yang agak tabah tetap menunggu sambil tertunduk lesu (termasuk saya yang menonton lewat televisi, sempat meninju tembok, he..he..he.., karena gemas gol balasan tak kunjung datang) . Impian meraih piala yang sudah 31 tahun tak pernah singgah , terbayang musnah di depan mata.
Lalu entah apa yang ada di pikiran Alex Ferguson waktu itu, pada menit ke 67 memasukan Teddy Seringham, dan mungkin dengan sedikit putus asa pada menit 81 memberi kesempatan kepada “anak bawang” bernama Ole Gunnar Solksjaer yang selama ini berkutat di bangku cadangan. Tidak terlalu berharap sebenarnya ketika kedua pemain itu memasuki lapangan. Karena memang MU dari awal sudah sial, 2 pemain andalan yaitu Paul Scholes dan Roy Keane absen karena akumulasi kartu .
Sampai pada saat Official pertandingan mengangkat papan penunjuk waktu tambahan, 3 menit !!!. Ya, tinggal menunggu 3 menit sajapelatih Otemar Hitzdfeld mencium piala, 3 menit untuk melihat Peter Schmeichel (kapten MU waktu itu) tersungkur di tengah lapangan sambil sesenggukan dan hanya butuh 3 menit saja bagi saya untuk cepat-cepat merebahkan diri tidur kembali, karena tak sudi untuk melihat Bayern Muenchen mengangkat piala .
Namun sekali lagi , pakem bola itu bundar memang kembali menuai tuahnya. Menit ke 90+1 sudah cukup membuat fans MU siuman dari pingsannya. Saat Teddy Seringham dengan manis menyarangkan bola, skor 1 – 1. Nah pada moment inilah, saya rada yakin, sesuatu keajaiban sedang berlangsung di lapangan Nou Camp markas FC Barcelona. Keajaiban yang selama ini sering terjadi di pertandingan sepak bola. Olah raga yang paling banyak penggemarnya di seluruh dunia , olahraga yang memang penuh probabilitas. Sebuah negara antah berantah bisa menahan imbang tim langganan jawara Brasil, sesuatu yang tidak dapat dilakukan di lapangan basket. Selalu ada drama di lapangan hijau. Happy ending buat satu pihak, sad ending buat yang lainnya .
Benar saja, pada menit ke 90+2 ketika Teddy Seringham, melompat setinggi-tingginya pada saat tendangan penjuru dilakukan oleh David Beckham, yang masih imut-imut,bola mengenai kepala Seringham, dan jatuh tepat di kaki Ole Gunnar Solksjaer, dan dengan sedikit sentuhan bola sukses melewati Oliver Kahn yang terbengong-bengong. dan pastinya penuh penyesalan seumur hidup. Goal. 2-1.
Tidak mungkin!!!, tapi ini bukan mimpi, semangat Jerman yang gagah perkasa, luluh lantak. Para pemain Bayer Muenchen, sudah mati rasa, serasa semua tulang dilolosi dari raga. Lothar Mattheus berharap dapat merebut jam tangan yang ada di pergelangan Pierluigi Colina dan melemparkannya jauh ke luar stadion. Namun sang waktu tidak dapat dihentikan, Al waqtu kas saif illam taqtha’hu qatha’aka.” (Waktu ibarat pedang, jika kamu tidak memotongnya, niscaya pedang itu yang akan memotongmu). Pierluigi Colina dengan berat hati meniup peluit panjang untuk mengakhiri pertandingan yang masih ingin dilihatnya.
Dan di sebuah apartemen kecil, pinggiran kota Munich, Peter Waltersesenggukan di sudut ruangan , sambil dielus-elus sang ayah yang berusaha menenangkan anak kecil 9 tahun penggemar Bayern Muenchen. Keberuntungan tidak berada di sisi Die Roten. Dua kali tendangan menghantam mistar Manchester United dan serangan bertubi-tubi, berakhir dalam 3 menit penuh penyesalan.Samuel Kuffour, pemain Muenchen asal Ghana yang penampilannya sangarpun tak kuasa membendung air mata .
Dan kota Manchester pun larut dalam euphoria. Setelah 31 tahun Piala Champions, akhirnya bisa kembali didekap kembali. Treble winner pun diraih. Sungguh malam yang indah.
Terima kasih untuk Sir Alex Ferguson, atas kenangan yang indah ini.
Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H