Mohon tunggu...
Muhammad Ali Fuadi
Muhammad Ali Fuadi Mohon Tunggu... Freelancer - S3 IAT UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Muhammad Ali Fuadi, lahir di Rembang, Jawa Tengah. Saat ini menempuh studi di Program Doktoral Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (IAT) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sebelumnya S1 dan S2 di UIN Walisongo Semarang, mengambil jurusan yang sama, Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir (IAT).

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pesta Politik 'Kapitalis'

25 Juni 2014   06:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   09:10 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dimuat di Rubrik Opini Koran Wawasan pada Selasa, 24 Juni 2014

Tidak jauh beda dengan debat perdana calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada 9 Juni lalu, debat kedua dengan tema “Pembangunan Ekonomi dan Kesejahteraan Sosial” yang dilaksanakan di Hotel Gran Mulia, Jakarta pada Minggu malam, 15 Juni 2014 kemarin juga sangat meriah. Acara tersebut dihadiri oleh dua kubu pendukung, yaitu antara kubu Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. (Tempo, 16/06/2014)

Namun ada hal menarik yang tentu berbeda dengan debat perdana, karena debat kedua dan diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) ini hanya diwakili oleh capres dari partai atau partai koalisi pengusungnya, yaitu Prabowo dan Jokowi. Tentu debat ini sangat ditunggu-tunggu publik, karena sebagian besar masyarakat ingin melihat secara langsung debat tersebut untuk mengetahui materi yang sedang diperdebatkan.

Selain itu, mereka juga ingin mengetahui secara komprehensif bagaimana cara masing-masing capres dalam menyampaikan visi dan misi, gagasan, serta rencana program pembangunan Indonesia ke depan, setidaknya untuk waktu lima tahun mendatang. Maka dari itu, tak heran jika masyarakat sangat antusias sekali ingin melihat acara tersebut, dengan harapan agar mereka mampu menganalisa sekaligus menentukan pilihannya agar tidak salah dalam memilih. Belum lagi debat-debat selanjutnya yang telah diagendakan KPU untuk para capres dan cawapres.

Capres Harus Kaya?

Terlepas dari semua itu, yang sangat menarik untuk diteliti sekaligus dikaji adalah capres serta cawapres masing-masing. Dari dua kubu yang ikut bertanding dalam gelagat pertarungan pemilihan presiden (pilpres) 2014 ini, kesemuanya adalah seseorang yang memiliki finansial dengan jumlah besar, baik dari hasil kekayaan pribadi ataupun kekayaan hasil konsolidasi dengan pihak pendukung atau partai lainnya. Tentu hal ini mutlak dibutuhkan, karena semakin banyak masyarakat yang kian pragmatis dan akan memilih jika diberikan imbalan berupa uang.

Kedua kubu tersebut memang menjalin koalisi dengan sejumlah partai yang lain. Dan tentunya mereka yang terpilih sebagai capres dan cawapres adalah putra-putra terbaik bangsa. Apabila banyak pengamat politik mengatakan bahwa cara berkoalisi untuk menentukan capres dan cawapres adalah karena dalam partai-partai lain tidak ada atau bahkan miskin kader-kader unggulan, tentu salah besar. Sebab, masih banyak kader di dalam partai-partai lain yang juga unggul, sebut saja Mahfud MD, Anis Baswedan, Dahlan Iskan, dan masih banyak yang lain.

Dr. Mohammad Nasih, seorang ilmuan politik Universitas Indonesia mengatakan bahwa mereka tidak terpilih menjadi capres dan cawapres bukan karena mereka tidak memiliki kemampuan, namun karena tidak memiliki finansial lebih, –baik milik pribadi ataupun mendapatkan dukungan finansial dari pihak lain-- jika dibandingkan dengan capres dan cawapres yang bertarung saat ini. Jika ditelisik lebih dalam, memang seorang pemimpin harus kaya raya, dengan harapan agar pada saat menjadi pemimpin, mereka tidak melakukan tindakan yang merugikan masyarakat semisal korupsi. Sebab, mereka sudah memiliki finansial lebih dan idealnya tentu tidak membutuhkan uang dengan cara korupsi.

Semoga hal tersebut terwujud dengan baik. Apabila pemimpinnya korupsi, masyarakat tentu akan merasa berdosa karena mereka telah memilihnya sewaktu pemilu berlangsung. Maka dari itu, hal ini harus menjadi bahan kritik bagi para kandidat yang bertarung dalam pilpres 2014 mendatang, agar mereka mengindahkan keinginan masyarakat saat ini. Sebab, tak jarang para politisi yang nyaman sewaktu menjadi pemimpin, namun setelah masa akhir atau bahkan menjelang masa akhir jabatan habis, akan diketahui kedok sebenarnya.

Di sisi lain, dalam hajatan demokrasi yang berlangsung kini juga ada seseorang yang bergaya sebagai bandar. Mereka datang ikut memeriahkan pemilihan umum (pemilu) dengan cara taruhan atau berjudi, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari pihak yang kalah pada saat melakukan perjudian tersebut. Ada pula mereka yang bergaya menjadi bandar dengan membantu kandidat yang bertarung dengan tujuan agar mereka lebih dekat dengan struktur kekuasaan negara. Bahkan tak jarang pula yang menjadi bandar untuk membantu beberapa kandidat, agar mereka tidak mengalami kerugian. Sebab, siapapun yang menang mereka tetap mendapatkan tempat di dalam struktur kekuasaan. Maka dari itu, sangat tepat jika dikatakan bahwa pemilu saat ini adalah ajang pesta para kapitalis.

Pemimpin Bersih

Tantangan bangsa Indonesia ke depan sangat berat, dan tentu membutuhkan seorang pemimpin yang handal serta cakap dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Pemimpin tersebut harus memiliki rekam jejak jelas dan sudah terbiasa berkecimpung dalam gelanggang politik. Dan yang terpenting, mereka harus rela menjadi “babu” masyarakat. Mereka harus mampu memberdayakan semua masyarakat di segala lini, bahkan di daerah yang terpencil dan jauh dari alat transportasi sekalipun. Sebab, saat ini masih banyak daerah terpencil yang masih tertinggal, baik dalam segi ekonomi maupun pendidikan.

Sangat tepat sekali karena debat kedua yang dilaksanakan KPU kemarin membahas tentang pembangunan ekonomi dan kesejahteraan nasional. Tentu hal tersebut menjadi ajang menarik untuk para capres dalam menyampaikan gagasan dan visi misinya. Sejumlah pengamat politik pun juga ikut terjun dalam hal ini, siapa yang memiliki gagasan bagus untuk Indonesia ke depan, terutama dalam hal yang berkaitan dengan tema tersebut.

Menurut M. Afifudin, seorang Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), menegasan bahwa capres Joko Widodo (Jokowi) telah menunukkan pernyataan yang lebih konkret dibandingkan dengan capres Prabowo. Beliau mengatakan demikian karena telah melihat bahwa Jokowi menunjukkan contoh-contoh kecil pada saat debat berlangsung. Sedangkan Prabowo masih hanya menyajikan berbagai janji-janji dalam narasi yang besar. (Solo Pos, 16/06/2014).

Terlepas dari semua itu, yang terpenting demi tercapainya tujuan suatu negara ke arah perbaikan, para kandidat harus bersaing secara damai. Jangan sampai mereka bersaing secara tidak sportif ataupun dengan cara menjatuhkan pihak lawan. Dalam konteks memperbaiki negara, hal ini harus dimusnahkan agar hajatan demokrasi saat ini dan ke depan akan semakin membaik. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Oleh: Muhammad Ali Fuadi, Peneliti Muda di Monash Institute; Aktivis HMI Komisariat Iqbal IAIN Walisongo Semarang

http://issuu.com/koranpagiwawasan/docs/wawasan_20140624

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun