Mohon tunggu...
Muhammad Abdurrahman
Muhammad Abdurrahman Mohon Tunggu... -

seorang manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seberapa Mulia Anda??

20 Agustus 2010   16:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:51 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Boyolali, 20 Agustus 2010

Hamparan tanah kering dan tandus… Berisi batu dan pasir… Datanglah Malaikat Tuhan… Membawa benih lumut dan biji-bijian… Tidak berapa lama tumbuhlah lumut di atas batu… Dilanjutkan pepohonan yang mengundang burung-burung juga binatang lainnya… Dan jadilah hutan…

Tidak berlebihan jika ilustrasi di atas digunakan untuk menggambarkan peranan dokter di tengah-tengah lingkungan masyarakat zaman dulu… Tunggu sebentar… Zaman dulu??!! Ya… Zaman dulu… Ketika seorang dokter dianggap malaikat. Datang ke perkampungan dielu-elukan sebagai kepanjangan Tuhan, dianggap bisa melakukan apa saja, dokter ZAMAN DULU pasti mengalami hal itu. Pekerjaan dokter adalah pekerjaan mulia… Seorang dokter adalah seorang menantu idaman… Begitulah yang digembar-gemborkan (orang-orang generasi) orang tua kita. Konon seorang dokter dihargai mas kawin 300 ekor kerbau di sebuah tempat di Nusa Tenggara… Betapa mulianya seorang dokter saat itu… Pasien sudah memasrahkan nasibnya kepada dokter seolah Sang Dokter adalah Sang Tuhan itu sendiri…

Semakin tambah kokohnya dinding jerami yang berubah menjadi tembok beton… Manusia terbang bukanlah sebuah hal langka (dengan pesawat tentunya)… Bahkan tembok setebal 5 meter bukanlah halangan bagi seorang manusia… Semakin lama itu pula, manusia menuntut macam-macam bahkan mulai membantah, mencaci, menyalahkan, dan menantang bahkan mengutuk (seseorang yang dianggap) Sang Tuhan itu sendiri…

Disinilah dimulailah keprihatinan saya… Sebenarnya sudah cukup lama saya memendam perasaan ini. Seseorang harus melalui sebuah sumpah yang cukup sulit untuk menjadi seorang dokter, yaitu Sumpah Hipokrates. Kalau mau jujur, sebenarnya Sumpah Hipokrates adalah sebuah tuntutan yang cukup sulit untuk seorang MANUSIA. Mungkin pembaca bisa men-search di Google atau search engine yang lain untuk mengetahui apa saja isi Sumpah Hipokrates. Sungguh ironis sekali… Untuk mendapat gelar dokter (yang hanya menyusahkan diri) harus membayar mahal, mengorbankan segala hal, mengeringkan air mata, mengeraskan upil, dan sebagainya.

Entah ini hanya terjadi di Negara Kesatuan Republik Indonesia kita tercinta ini atau juga terjadi di belahan dunia lain juga terjadi fenomena ini. Yang jelas pada kenyataannya, pekerjaan dokter (sudah semakin) tidak dihargai. Seorang dokter yang datang ke rumah warga untuk memantau perkembangan sang pasien justru diusir dari rumah pasien sambil di acungin parang benar-benar sungguh-sungguh terjadi (Digul, 2009). Seorang dokter menasehati supaya pasien menghentikan aktifitas merokok-nya justru dihadiahi kalung sebilah clurit juga sungguh-sungguh benar-benar terjadi (Boyolali, 2008). Seorang dokter tidak boleh menggunakan sarung ketika menangani pasien hampir meninggal sungguh benar-benar sungguh terjadi (Boyolali, 2010). Bahkan memaki seorang dokter, dengan sebutan seekor binatang berkaki empat, karena si dokter menyelesaikan minum kopinya dulu sebelum mengganti infus pasien (Boyolali, 2010).

Penderitaan dokter belum cukup sampai disitu… Para dokter masih dihantui kekhawatiran terhadap pengacara. Pengacara? Betul betul betul… Mereka yang berkeliaran di bangsal-bangsal dan UGD sambil mencari-cari kasus malpraktik dengan manas-manasin pasien (Klaten, 2006). Para pengacara tidak perlu tersinggung, saya tidak membicarakan semua pengacara, karena tentunya ada juga pengacara yang baik yang membantu para dokter ketika dituntut pengacara tukang kompor itu… Tetapi kisah singkat tersebut, tentang pengacara keliling rumah sakit cari-cari masalah benar adanya. Mereka mendatangi pasien-pasien dengan keadaan buruk sampai terminal, dan memberi khotbah sedemikian rupa sehingga keluarga pasien yang tadinya pasrah saja menjadi berapi-api menuntut dokter dan rumah sakit… Bahkan kejadian seperti terjadi juga di negara maju sekelas Amerika Serikat hingga di sana ada lelucon “Need money? Sue Your Doctor”. Yah… Lucu sekali… Dokter yang dahulu dianggap Tuhan, sekarang seperti celengan babi yang tinggal dipecah kalau butuh uang… Tapi bagaimanapun juga hal itu tidak lepas akibat adanya oknum dokter yang meresahkan masyarakat bahkan teman sejawatnya sendiri. Oke lah… Hal ini bisa menjadi cambuk buat para dokter untuk lebih hati-hati dan professional. Selesai masalah dengan pengacara… Muncul masalah lagi dengan media, dengan pemaparan sedemikian rupa (yang berita saja mulai membahas layaknya infotainment), yang mem-blow up berita dan menciptakan stereotype tentang dokter… Yah… Itulah penderitaan para dokter zaman sekarang. Menghadapi pandangan sinis dari masyarakat, wartawan, pengacara, sambil was-was supaya tidak dicegat orang yang bawa clurit. Kalau boleh membandingkan, mungkin hal ini seperti hal-nya para pegawai perpajakan pasca kasus Gayus Tambunan. Yang notabene adalah sebuah kerikil kecil yang masih tertinggal setelah DepKeu dibersihkan oleh Sri Mulyani… Semua orang melihat pegawai pajak adalah sama seperti Gayus… Yah… Beginilah dunia… Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Karena segelintir orang, rusak pula kehidupan orang lain yang seprofesi.

Dengan ini saya mencoba bertanya kepada pembaca sekalian. Masihkah anda akan ikut-ikutan membantah, mencaci, menyalahkan, dan menantang seorang dokter yang mungkin menderita dosa yang tidak dia perbuat? Pembaca sekalian, dokter juga manusia. Mereka sudah berusaha dengan segenap tenaga, tetapi yang mereka dapatkan hanyalah kehinaan. Sebagai manusia tentu ada batasnya. Sebuah beban mental yang luar biasa berat. Pekerjaan dokter adalah sama dengan montir atau apalah, hanya saja yang dihadapi adalah sebuah makhluk hidup. Tapi sayang, seorang manusia adalah sesosok makhluk dengan hawa nafsu. Maunya menang sendiri. Maunya diobatin, tapi sambil mencekik yang ngobatin, nodong clurit pula. Kalo sudah ke dokter, berarti harus sembuh. Padahal kalau dinasehatin tidak dilaksanakan. Sudah gitu ngotot, sok tahu pula… Pengennya disembuhin, tapi lebih milih ke dukun duluan… Datang ke dokter sudah hancur lebur… Yah gimana lagi… Inilah potret bangsa kita… Sudah rusak dari atas sampai bawah… Dari pinter (sarjana) sampai bodoh (tidak sekolah)… Walau tidak semuanya sih… Tapi lebih banyak menemukan rusaknya daripada yang masih baik… Karena kita adalah makhluk penuntut… Jadi yang buruk lebih terlihat daripada yang baik… Betul begitu?

Sekian dari saya… Seorang penulis amatir yang mencoba mengeluarkan uneg-uneg-nya… Untuk para dokter, tetaplah bersabar. Setiap kesabaran itu pasti ada hasilnya. Sabar itu tidak ada batasnya, hanya individu masing-masinglah yang membatasi. Janganlah batasi kesabaran kalian. Untuk para calon dokter, belajarlah yang rajin dan ikhlas. Supaya kelak kalian bisa memenuhi tuntutan para makhluk penuh nafsu di sekeliling kalian. Tahan nafsu kalian. Tidak perlu bermimpi bakal jadi Tuhan… Mereka sudah tidak membutuhkan Tuhan. Mereka sudah mempertuhan diri mereka sendiri. Mereka hanya butuh sesuatu untuk dipersalahkan. Sedih Jadi Orang Indonesia. Semoga Indonesia sadar atas kesalahan yang dia lakukan.

Akhir kata, sudah menjadi kewajiban anda untuk memaafkan saya. Jika ada yang tersinggung, sudah menjadi kewajiban anda untuk introspeksi. Mohon koreksinya. Wassalam.

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Terus terang... Artikel ini merupakan tanggapan dari artikel2 di bawah ini...

http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/07/rumah-sakit

http://kesehatan.kompasiana.com/group/medis/2010/08/19/para-calon-dokter-itu-sombong-sekali

http://sosbud.kompasiana.com/2010/08/19/karena-diprotes-jadi-saya-menulis/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun