Mohon tunggu...
Alfin Pulungan
Alfin Pulungan Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

"Mereka yang bukan saudaramu dalam iman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan." [Imam Ali bin Abi Thalib a.s.]

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hoaks sebagai Gejala Relativisme

30 Januari 2019   00:54 Diperbarui: 30 Januari 2019   01:17 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mereka yang kita anggap suka menyebarkan berita hoax ternyata berpikir sebaliknya. Bahwa justru kalangan yang menganggap mereka suka menyebarkan berita hoax adalah mereka yang terkena pengaruh hoax. Mereka yakin bahwa 10 juta tenaga kerja ilegal asal Cina bukan hoax, bahwa kebangkitan komunisme baru bukan hoax, bahwa sembilan naga berada di balik Ahok bukan hoax, dan seterusnya.

Lingkaran setan relativisme ini sungguh gawat. Kebenaran tidak lagi merupakan sesuatu yang berada di luar diri, tetapi di dalamnya. Kebenaran menjadi sangat subjektif; kebenaran menurutku, menurut kelompokku, menurut masyarakatku, dan seterusnya. Singkat kata, kebenaran menjadi sama dengan keyakinan.

Paham relativisme ini tidak selalu lahir dari keyakinan agama, tetapi berkembang pula di tengah ragam pemikiran sekuler. Nasionalisme, sebagai contoh, juga mengandung aspek ini; yakni bahwa kebenaran a la nasionalis adalah kebenaran menurut negaraku dan bangsaku. 

Belakangan beberapa aliran radikal dalam filsafat posmodernisme pun mempunyai kecenderungan yang sama; seolah tidak ada kebenaran tunggal, sebab semuanya adalah soal sudut pandang.

Relativisme tentu saja tidak selamanya buruk. Ia membantu kita membongkar kepalsuan beberapa klaim kebenaran universal. Ia juga bisa menyimpan risiko.

Setelah menghancurkan benteng-benteng besar kemanusiaan, ia malah membangun ulang benteng-benteng kecil politik identitas--agama, ras, etnis, gender..

HOAX hanya gejala. Penyakitnya adalah hilangnya kemampuan untuk menguji data, skeptisisme dan ketidakmampuan berpikir kritis.

-David Kushner-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun