Mohon tunggu...
muhammad yusufmaulana
muhammad yusufmaulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mancing

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

pengaruh pengangguran dan inflasi terhadap kemiskinan di indonesia

14 Desember 2024   14:46 Diperbarui: 14 Desember 2024   16:46 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS


Pendahuluan
Kemiskinan merupakan isu sosial yang kompleks dan multidimensi, yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Masalah ini tidak hanya berkaitan dengan pendapatan rendah, tetapi juga menyentuh berbagai aspek penting dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan sering kali menciptakan lingkaran setan, di mana akses yang terbatas terhadap pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja memperburuk situasi sosial ekonomi masyarakat, yang pada akhirnya memperparah kemiskinan itu sendiri.
Di Indonesia, kemiskinan menjadi tantangan besar dalam pembangunan, meskipun telah banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menguranginya. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2023, persentase penduduk miskin tercatat sebesar 9,36% atau sekitar 25,9 juta jiwa (Albrashil, 2024). Meskipun angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, tantangan struktural seperti ketimpangan akses terhadap pelayanan dasar, rendahnya tingkat pendidikan, serta ketidakstabilan ekonomi global terus menjadi hambatan dalam pengentasan kemiskinan (Masrom et al., 2023).
Di antara berbagai faktor yang memengaruhi kemiskinan, pengangguran dan inflasi menonjol sebagai dua isu utama yang saling berkaitan. Pengangguran, yang sering kali disebabkan oleh ketidakcocokan antara kebutuhan pasar kerja dan keterampilan tenaga kerja, menciptakan tekanan besar pada tingkat pendapatan rumah tangga. Di sisi lain, inflasi yang ditandai dengan kenaikan harga barang dan jasa dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan dengan pendapatan tetap (Green, 2017). Kombinasi dari kedua faktor ini tidak hanya memperburuk kondisi ekonomi masyarakat miskin, tetapi juga menimbulkan dampak sistemik pada stabilitas sosial dan ekonomi suatu negara (Asmara, 2024).
Selain itu, pengangguran dan inflasi memiliki implikasi yang luas pada aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, pengangguran yang tinggi sering kali memicu meningkatnya ketidakpuasan sosial, yang pada akhirnya dapat menyebabkan gangguan keamanan dan politik. Sementara itu, inflasi yang tidak terkendali dapat memicu ketidakstabilan ekonomi, menghambat investasi, dan memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional (Indonesia, 2020).
Oleh karena itu, memahami bagaimana pengangguran dan inflasi memengaruhi kemiskinan di Indonesia menjadi sangat penting untuk merumuskan kebijakan yang tepat. Artikel ini akan menguraikan secara rinci hubungan antara kedua faktor tersebut dan kemiskinan, serta langkah-langkah strategis yang dapat diambil untuk mengatasi tantangan ini dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengangguran sebagai Faktor Utama Kemiskinan
Pengangguran adalah kondisi di mana individu tidak memiliki pekerjaan meskipun sedang mencari pekerjaan secara aktif. Di Indonesia, pengangguran terbuka pada Agustus 2023 tercatat sekitar 5,91% (Albrashil, 2024). Walaupun angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, pengangguran tetap menjadi ancaman serius terhadap kesejahteraan masyarakat.

Dampak Pengangguran terhadap Pendapatan Rumah Tangga
Pengangguran berdampak langsung terhadap pendapatan rumah tangga. Ketika kepala keluarga kehilangan pekerjaan, sumber penghasilan hilang, menyebabkan kesulitan memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan. Dalam jangka panjang, pengangguran memaksa banyak keluarga untuk mengorbankan investasi masa depan mereka, misalnya dengan menghentikan pendidikan anak-anak (Masrom et al., 2023).

Ketimpangan Sosial Akibat Pengangguran
Selain menurunkan pendapatan, pengangguran juga memperburuk ketimpangan sosial. Sebagian besar pekerjaan yang tersedia untuk kelompok dengan pendidikan rendah adalah pekerjaan informal, yang sering kali tidak memberikan jaminan sosial atau upah yang layak. Akibatnya, kesenjangan ekonomi antara kelompok miskin dan kaya semakin melebar.

Inflasi dan Implikasinya terhadap Kemiskinan
Inflasi merujuk pada kenaikan harga barang dan jasa secara umum dalam suatu periode tertentu. Inflasi memiliki dampak besar terhadap daya beli masyarakat, khususnya kelompok berpendapatan rendah. Di Indonesia, inflasi pada November 2023 tercatat sebesar 5,35% (Asmara, 2024). Meskipun terlihat moderat, kenaikan harga bahan pokok seperti beras, minyak goreng, dan bahan bakar berdampak besar pada keluarga miskin.

Penurunan Daya Beli Akibat Inflasi
Keluarga miskin mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan dasar seperti makanan dan transportasi. Ketika inflasi naik, harga kebutuhan pokok meningkat, sementara pendapatan mereka cenderung stagnan. Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat menurun, memaksa mereka untuk mengurangi konsumsi atau bahkan mengorbankan kebutuhan penting (Green, 2017).

Pengaruh Inflasi terhadap Kelompok Rentan
Kelompok rentan, seperti pekerja informal, petani, dan buruh harian, adalah yang paling terdampak oleh inflasi. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki perlindungan sosial yang memadai, sehingga kenaikan harga langsung memengaruhi kesejahteraan mereka. Lebih buruk lagi, inflasi sering kali menciptakan ketidakpastian ekonomi yang menghambat investasi, baik pada tingkat individu maupun masyarakat (Masrom et al., 2023).

Interaksi antara Pengangguran, Inflasi, dan Kemiskinan
Pengangguran dan inflasi memiliki hubungan yang rumit tetapi sering kali saling memperburuk satu sama lain. Ketika tingkat pengangguran tinggi, daya beli masyarakat menurun, yang memperbesar risiko inflasi karena permintaan terhadap barang dan jasa melemah. Sebaliknya, inflasi yang tinggi dapat meningkatkan pengangguran, terutama jika perusahaan memutuskan untuk memangkas tenaga kerja guna mengurangi biaya operasional (Green, 2017).

Langkah-langkah untuk Mengurangi Pengangguran dan Inflasi
Untuk mengatasi pengangguran, pemerintah perlu memperkuat pendidikan dan pelatihan keterampilan agar angkatan kerja dapat memenuhi kebutuhan pasar. Selain itu, investasi dalam sektor padat karya, seperti manufaktur dan pariwisata, harus diperkuat untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja (Albrashil, 2024).
Di sisi inflasi, pengendalian harga bahan pokok melalui kebijakan subsidi atau pengawasan distribusi sangat penting. Pemerintah juga perlu memperkuat sektor pertanian dan energi lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor yang rentan terhadap fluktuasi harga global (Asmara, 2024).
Kesimpulan
Pengangguran dan inflasi adalah dua faktor utama yang memengaruhi tingkat kemiskinan di Indonesia. Kedua fenomena ini saling berinteraksi dalam menciptakan tantangan besar bagi pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Dampak negatifnya tidak hanya terasa pada level individu, seperti hilangnya pendapatan dan menurunnya daya beli, tetapi juga merambah ke tingkat makroekonomi yang lebih luas. Stabilitas sosial menjadi terancam, dengan meningkatnya ketimpangan dan potensi konflik sosial. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga dapat terhambat akibat ketidakstabilan yang ditimbulkan oleh pengangguran tinggi dan inflasi yang tidak terkendali.
Pengangguran menyebabkan jutaan keluarga Indonesia kehilangan sumber pendapatan utama mereka, sehingga mengurangi kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan nutrisi. Akibatnya, kemiskinan dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sementara itu, inflasi yang terus meningkat membebani kelompok masyarakat berpendapatan rendah, yang sebagian besar pendapatannya habis untuk kebutuhan pokok. Kombinasi pengangguran dan inflasi tidak hanya memperburuk kemiskinan, tetapi juga menurunkan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan langkah-langkah holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan. Pemerintah dapat fokus pada kebijakan yang menciptakan lapangan kerja melalui pengembangan sektor padat karya, pelatihan keterampilan, dan pendidikan vokasi. Selain itu, kebijakan pengendalian inflasi yang efektif, seperti penguatan produksi lokal dan subsidi bagi kelompok rentan, dapat membantu menjaga daya beli masyarakat.
Di sisi lain, sektor swasta memiliki peran penting dalam menciptakan peluang kerja melalui investasi yang inklusif dan berkelanjutan. Dunia usaha juga dapat berkolaborasi dengan pemerintah dalam program-program pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja. Sementara itu, masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah dapat berkontribusi dengan memberikan advokasi, pendampingan, dan solusi berbasis komunitas untuk mengurangi dampak negatif pengangguran dan inflasi.
Secara keseluruhan, upaya kolektif yang melibatkan semua elemen bangsa sangat penting untuk mengatasi pengangguran dan inflasi serta dampaknya terhadap kemiskinan. Dengan pendekatan yang terintegrasi, Indonesia memiliki peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kesenjangan sosial, dan memperkuat fondasi ekonomi yang berkelanjutan untuk generasi mendatang.

Referensi
Albrashil, E. T. (2024). PENGARUH JUMLAH PENDUDUK DAN TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA TERHADAP KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2008--2022.
Asmara, M. (2024). PENGARUH PENDALAMAN KEUANGAN TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH 3T (TERDEPAN, TERPENCIL DAN TERTINGGAL).
Green, T. L. (2017). Economic growth, biophysical limits and sustainability in economics textbooks since 1948. In Handbook on Growth and Sustainability (pp. 397--419). Edward Elgar Publishing.
Indonesia, R. (2020). Rencana pembangunan jangka menengah nasional 2020-2024. Peraturan Presiden Republik Indonesia, 303.
Masrom, S. N. F. B., Aziz, N. B., & Ismail, M. M. Bin. (2023). Beyond economic growth: How Indonesia's 2045 vision prioritized reducing income inequality? International Journal of Emerging Trends in Social Sciences, 14(2), 45--57.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun