Tanda perintah dua dasar hukum dalam Islam inilah yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut mazhab Maliki.
Pernikahan beda agama diatur dalam Surat Al-Baqoroh :221 yang menerangkan larangan untuk menikahi orang musyrik sampai mereka beriman. Selain itu didalam surat Al-Mumtahanah ayat 10 terdapat adanya larangan mengembalikan wanita Islam yang hijrah dari makkah ke madinah kepada suami mereka di makkah dan meneruskan hubungan rumah tangga dengan perempuan kafir.
Meski secara tegas dalam Islam terdapat pelarangan pernikahan beda agama dalam teori, namun dalam terdapat teori yang memunculkan adanya kesempatan untuk terjadinya pernikahan bukan satu golongan, yaitu antara umat Islam dengan wanita ahli kitab, pembolehan pernikahan dengan ahli kitab ini dimuat dalam surat al- Maidah ayat 5 yang menerangkan bahwa adanya legalisasi pernikahan dengan wanita ahli kitab bagi kaum muslim.
Dari seluruh teori yang telah dituliskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pada dasarnya hukum Islam melarang adanya pernikahan beda agama . Di Indonesia, lima agama yang diakui memiliki pengaturan tersendiri terkait dengan pernikahan beda agama. Agama Kristen/Protestan memperbolehkan pernikahan beda agama dengan menyerahkan pada hukum nasional masing-masing pengikutnya. Hukum Katholik tidak memperbolehkan pernikahan beda agama kecuali mendapatkan izin oleh gereja dengan syarat-syarat tertentu. Hukum Budha tidak mengatur pernikahan beda agama dan mengembalikan kepada adat masing-masing daerah, sementara agama Hindu melarang keras pernikahan beda agama.1
Pembahasan pernikahan beda agama ini akan dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
- Pernikahan dengan Non Muslim/ kafir.
- Pernikahan dengan ahli kitab.
Dalam pembedaan dua kategori antara non muslim/kafir dengan ahli kitab ini memang terdapat sebuah pembedaan yang menimbulkan konsekuensi dalam hukumnya, non muslim/ kafir adalah orang-orang yang mengingkari Tuhan,1 sementara pengertian ahli kitab adalah orang yang menganut salah satu agama Samawi yang mempunyai kitab suci seperti Taurat, Injil , dan Zabur
- Pernikahan dengan non muslim/kafir
- Definisi kafir dan muslim merupakan definisi yang sangat luas, para ulama' berpendapat bahwa istilah non muslim atau kafir disimpulkan oleh pakar Al- Qur'an, Syeikh Muhammad Abduh, segala aktifitas yang bertentangan dengan ajaran tujuan agama. Tentu saja maksudnya tidak mengarah pada suatu kelompok agama saja, akan tetapi mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan variasi ritualnya. Al Qur'an menyebutkan kelompok non muslim ini secara umum seperti terdapat dalam QS. surat Al-Hajj: 17
- "Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shaabi-iin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi Keputusan di antara mereka ada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu".
- Dalam ayat Al Qur'an tadi terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non muslim, yaitu Yahudi, Nasrani, ash-Shabi'ah atau ash- Shabiin, al-Majus, al-Musyrikun. Masing-masing kelompok secara ringkas dapat dijelaskan sebagai berikut.
- Pertama, Yahudi adalah kaum bangsa Israel yang mengamalkan ajaran nabi Musa/Taurat. Kedua, Nasrani/Nashara yang diambil dari nama Nashiroh (tempat lahir nabi Isa), mereka adalah kelompok yang mengajarkan ajaran nabi Isa. Ketiga, Ash-Shabi'ah, yaitu kelompok yang mempercayai pengaruh planet terhadap alam semesta. Keempat, Al-Majus yaitu para penyembah api yang mempercayai bahwa jagat raya dikontrol oleh dua sosok Tuhan, yaitu Tuhan Cahaya dan Tuhan Gelap yang masing-masingnya bergerak kepada yang baik dan yang jahat, yang bahagia dan yang celaka dan seterusnya, dan Al-Musyrikun, kelompok yang mengakui ketuhanan Allah SWT, tapi dalam ritual mempersekutukannya dengan yang lain seperti penyembahan berhala, matahari dan malaikat.
- Dari pengertian Non muslim/kafir diatas, maka dapat disimpulkan bahwa lawan dari kata kafir adalah mukmin, orang yang mengimani Allah. Dalam surat Al-Mumtahanah menjelaskan bahwa adanya pelarangan untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan wanita kafir, sampai mereka beriman kepada Allah. Larangan pernikahan beda agama dengan non muslim/kafir secara global telah disepakati oleh para ulama'. Lebih lanjut, Ibnu Katsir menjelaskan bahwa larangan pernikahan dengan non muslim atau kafir juga didasarkan pada surat Al-Baqoroh: 221. Beliau menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan musyrik dalam ayat tersebut adalah penyembah berhala.
- Larangan pernikahan beda agama ini kemudian di rumuskan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia. KHI yang diberlakukan dengan Instruksi Persiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawi- nan beda agama. Larangan ini diatur dalam pasal 40 huruf c KHI.26 Sementara larangan pernikahan beda agama bagi wanita diatur dalam pasal 44 KHI.27 Secara Normatif larangan seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu pernikahan dengan pria lain; b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.
- Pernikahan dengan ahli kitab.
- Imam Syafi'i berpendapat bahwa ahlul kitab adalah orang Yahudi dan orang Nasrani keturunan orang- orang Israel, tidak termasuk bangsa- bangsa lain yang menganut agama yahudi dan nasrani. Alasan yang dikemukakan oleh imam Syafi'i adalah bahwa Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada bangsa mereka, bukan bangsa lain. Pendapat ini berbeda dengan Imam Hambali dan mayoritas pakar hukum Islam yang menyatakan bahwa siapapun yang mempercayai salah seorang nabi atau kitab yang pernah diturunkan oleh Allah, maka dia adalah ahlul kitab. Sementara sebagian Ulama' berpendapat bahwa ahli kitab adalah setiap umat yang memiliki kitab dan dapat diduga sebagai kitab suci.
- Pendapat terakhir ini kemudian diperluas lagi oleh para ulama' kontemporer, sehingga mencakup para agama-agama yang ada di Indonesia seperti Hindu dan Budha. Sementara menurut Ulama' Muhammad Rasyid Ridho dalam tafsir al manaar , setelah beliau memahami dan mepelajari segala yang berkaitan dengan hukum pernikahan beda agama, beliau menyimpulkan bahwa wanita musyrik yang tidak diperbolehkan dinikahi yang disebutkan dalam Al-Qur'an QS Al- Baqoroh: 221 adalah wanita musyrik arab.
- Pendapat mengenai kebolehan menikahi wanita ahli kitab juga didukung oleh pendapat jumhur ulama' yang mengatakan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan bentuk pengkhususan dari QS Al-Baqoroh: 221, sehingga pernikahan dengan ahli kitab menjadi diperbolehkan. Pendapat ini juga mendapat dukungan dari Syafi'iyyah yang menolak bahwa QS Al-Maidah: 5 yang bersifat khusus dihapus oleh surat Al-Baqoroh:221, akan tetapi mereka mensyaratkan bahwa ahli kitab tersebut harus memenuhi kriteria tertentu.
- Pendapat mengenai larangan menikahi wanita ahli kita dirumuskan oleh sebagian ulama' yang menya- takan bahwa QS Al-Maidah: 5 merupakan bentuk khusus dari bentuk umumnya yaitu QS Al-baqoroh: 221 yang kemudian bentuk umum tersebut menghapus bentuk khusus. Senada dengan pendapat tersebut, sahabat nabi, Ibnu Umar, menyatakan bahwa pada zaman beliau, ajaran trinitas tidak lagi wajar dinamai dengan ahlul kitab, karena keyakinan tersebut merupakan bentuk penyekutuan terhadap Allah.
Dari dua pendapat diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa pada dasarnya para ulama' Islam berbeda pendapat dalam memandang hukum pernikahan beda agama terkait dengan seorang laki-laki muslim yang menikahi wanita non muslim yang ahli kitab. Perbedaan ini pada dasarnya berimplikasi terhadap huku pernikahan beda agama tersebut, yaitu halal dan haram. Akan tetapi kita mengikuti MUI indonesia yang mengharamkan pernikahan beda agama.
PENUTUP
Bahwa dalam Islam, pernikahan beda agam pada dasarnya dilarang. Akan tetapi terdapat pengecualian apabila pasangan laki-laki adalah seorang mukmin dan pasangan perempuan adalah ahli, pada pasangan semacam inilah para ulama' berbeda pendapat dalam menghukumi. Kaidah ushul fiqh " idza ijtama'a baina al halal wal haram ghuliba al haram" bisa dijadikan solusi dalam pengambilan hukum sebagai bentuk ihtiyaat atau kehati-hatian dalam pelaksanaan syariah Islam.
DAFTAR PUSTAKA
A. W. Munawwir, 2002, Kamus al- Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif ,Surabaya.