Mohon tunggu...
MUHAMMAD ALAMULHUDA
MUHAMMAD ALAMULHUDA Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

MAHASISWA UIN MAULANA MALIK IBROHIM MALANG FAKULTAS EKONOMI PRODI PERBANKAN SYARI'AH

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Memahami Budaya dengan Perspektif Islam

11 Juni 2023   11:40 Diperbarui: 11 Juni 2023   16:46 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pendahuluan

Banyak pandangan yang menyatakan bahwa agama adalah bagian dari kebudayaan, dan banyak pula yang menyatakan bahwa kebudayaan adalah hasil dari agama. Hal ini sering kali membingungkan ketika  agama (Islam) perlu diletakkan dalam konteks kehidupan  sehari-hari. Misalnya, Koenja Raningrad mendefinisikan kebudayaan sebagai kumpulan gagasan dan karya manusia yang harus dipelajari bersama dengan segala konsekuensi dari pemikiran dan karya manusia. Ia juga menjelaskan bahwa  semua budaya, termasuk lembaga keagamaan, memiliki unsur universal. Oleh karena itu, banyak yang mengatakan bahwa agama adalah bagian dari budaya. Islam adalah  hukum (agama hukum). Hukum agama ini diturunkan oleh Allah SWT melalui wahyu  kepada Nabi Muhammad SAW dan diberlakukan oleh umat Islam tanpa kecuali dan tanpa larangan sedikit pun. Oleh karena itu, karakter fundamental Islam adalah perspektif normatif yang komprehensif dan orientasi legal dan formalis yang komprehensif.

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur'an surat al-Baqoroh ayat 208 yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, masuklah  ke dalam Islam dengan sempurna dan janganlah mengikuti jejak setan. Sesungguhnya, iblis adalah musuh Anda yang sebenarnya". Islam harus diterima secara utuh dalam arti semua hukumnya ditegakkan pada semua tingkat kehidupan sosial. Secara umum, ada dua pola dalam konsep Islam: hubungan  vertikal  dengan Allah SWT dan hubungan dengan saudara manusia. Hubungan yang pertama bersifat religius (ibadah), sedangkan yang kedua bersifat sosial (muamalah). Masyarakat membentuk komunitas, yang menjadi wadah bagi kebudayaan. Konsep ini dalam penerapannya tidak terlepas dari tujuan syariat Islam untuk melindungi kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.

Oleh karena itu, Islam memiliki dua aspek: aspek agama dan aspek budaya. Jadi ada  Islam dan budaya Islam. Dari sudut pandang ilmiah kita dapat membedakan antara keduanya, tetapi dari sudut pandang Islam tidak mungkin dilakukan. Antara integrasi bentuk kedua dan pertama. Integrasinya begitu erat sehingga sering kali sulit menemukan persoalan, baik yang bersifat agama maupun budaya. Misalnya, pernikahan, perceraian, rekonsiliasi, warisan, dll. Dari sudut pandang budaya, hal-hal ini milik budaya. Tetapi persediaan itu  berasal dari Tuhan. Dalam hubungan kita dengan Tuhan, kita mematuhi perintah dan larangan Tuhan. Namun, ia memasuki hubungan manusia dalam kategori budaya. Agama dan budaya merupakan nilai dan simbol, sehingga dapat saling mempengaruhi. Agama adalah simbol ketaatan kepada Tuhan. Begitu pula budaya, yang memungkinkan manusia  hidup di lingkungan itu. Dengan kata lain, budaya religi merupakan simbol yang mengekspresikan nilai-nilai religi.

Masyarakat dan Budayanya

Seperti di Indonesia sendiri, ada berbagai budaya, kelompok etnis, adat istiadat dan agama. Oleh karena itu, tidak heran jika setiap suku dan agama memiliki tradisi budaya dan adat istiadatnya masing-masing. Salah satunya adalah suku  Jawa tradisional dengan tradisi Mudun yang lemah. Beberapa suku Jawa di Sidoarjo  masih mempertahankan tradisi leluhurnya. Tradisi yang masih dipertahankan adalah Mudung Lemah (Tedak Shiten), atau peringatan 7 bulan kelahiran  bayi. Orang Jawa biasanya mengikuti tradisi Mudun Lemah (Slametan) saat berusia 7-8 bulan. Padahal, tradisi asli Jawa ini sudah diwariskan secara turun-temurun sejak zaman dulu. Namun tradisi Mudun Lemah daerah Sidoarjo tidak sedetail tradisi nenek moyangnya. Tapi masih menggunakan bahan standar Jawa seperti  bubur merah, tetel (beras ketan), jajanan pasar, gedang rojo, gedang susu , bunga setaman dan permainan anak-anak.

Prinsip Islam Dalam Merespon Tradisi (Adat/'Urf)

Metode berfikir di kalangan madzhab Syafi'i antara lain berpijak pada kaidah (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah boleh). Sedangkan dikalangan madzhab Hanafi menggunakan kaidah sebaliknya yaitu (Hukum asal dalam segala sesuatu adalah dilarang) Dalam perkembangannya dua kaidah yang kontradiktif tersebut diberikan peran masing-masing dengan cara membedakan wilayah kajiannya. Kaidah ditempatkan dalam kajian bidang muamalah (selain ibadah mahdhah/ritual) dan kemudian muncul kaidah (Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh dilakukan, selain hal-hal yang telah ditentukan haram oleh dalil/nash) Sedangkan kaidah ditempatkan dalam wilayah kajian ibadah mahdhoh / ritual dan kemudian muncul kaidah (Hukum asal dalam urusan ibadah adalah tidak boleh dilakukan, kecuali ada dalil yang memperbolehkan/memerintahkan). Memahami dan mencermati dua prinsip kaidah tersebut sangat penting untuk menilai apakah tradisi/kebiasaan/adat yang ada di masyarakat tersebut boleh atau tidak, bid'ah atau tidak bid'ah.

Prinsip yang pertama, dalam urusan/wilayah/bidang muamalah (selain ibadah) adalah "segala sesuatu boleh dilakukan walaupun tidak ada perintah, asalkan tidak ada larangan", atau lebih jelasnya "seseorang boleh melakukan sesuatu, meskipun tidak ada dalil yang memerintahkannya, yang penting tidak ada dalil yang melarangnya. Sedangkan prinsip kedua, seseorang tidak boleh melakukan ibadah kalau tidak ada perintah, atau lebih jelasnya "seseorang boleh melakukan suatu ibadah kalau ada perintah, walaupun tidak ada larangan".

 Oleh karena itu, semua tradisi/tradisi/adat istiadat yang ada dalam masyarakat diperbolehkan (tidak ada nash yang melarangnya) sepanjang tidak relevan dengan urusan ibadah dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Secara khusus, dalam bidang jual beli (transaksi dan kontrak), tradisi, kebiasaan, dan kebiasaan tertentu dapat dijadikan sebagai dasar (legitimasi) bagi pertimbangan hukum dan sekaligus dapat dijadikan sebagai dasar (legitimasi) untuk bertransaksi. Penyelesaian Sengketa Hukum. Asas ini tertuang dalam kaidah: (adat dapat dijadikan dasar penetapan undang-undang). Hal ini  karena tidak semua persoalan muamalah dapat diselesaikan secara detail dalam Al-Quran (dibahas dalam Al-Quran dengan detail yang sangat terbatas, sebagian besar lainnya hanya prinsip-prinsip dasar yang diselesaikan), tetapi itu tidak benar. Kebanyakan ibadah diatur secara detail, termasuk teknis pelaksanaannya.

Kesimpulan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun