Mohon tunggu...
Muhammad Raihan Dani Priatama
Muhammad Raihan Dani Priatama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Kemarin Aku pintar, Aku ingin mengubah dunia. Sekarang Aku bijaksana, Aku ingin mengubah diriku.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keterwakilan Perempuan dalam Penyelenggaraan Kepemiluan

15 April 2022   04:32 Diperbarui: 15 April 2022   05:42 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perempuan seringkali dipandang sebagai gender yang kurang berdaya dibanding laki-laki. Stereotip serupa juga terjadi dalam kehidupan berpolitik masyarakat moderen. Karenanya, diperlukan adanya kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki dalam mendapat hak-hak sebagai warga negara, termasuk hak untuk berpartisipasi dalam aktivitas politik. Masalahnya, keadaan yang demikian itu tidaklah mudah untuk dicapai, lantaran budaya patriarkis manusia telah mengakar pada kehidupan berpolitik sedari dahulu. Seiring berjalannya peradaban, sistem-sistem politik absolut dan herediter telah digantikan oleh demokrasi, yang mana pada demokrasi pada masa moderen ini telah menggunakan pemilihan umum.

Pemilihan Umum atau pemilu sendiri merupakan mekanisme pelembagaan atau membuat sebuah kekuasaan menjadi konstitusional disebut dengan Sistem. Sistem tersebut sengaja ditujukan demi menghindari kekuasaan yang absolut dengan sirkulasi kekuasaan yang sudah menjadi barang wajib pada konsep dan pelaksanaan demokrasi. Rose dan Mossawir mengemukakan, bahwa fungsi pemilu pada dasarnya untuk menentukan pemerintahan secara langsung maupun tidak langsung, sebagai wahana umpan balik antara rakyat dan pemerintah, indikator dukungan rakyat terhadap penguasa, sarana rekrutmen politik, serta alat untuk mempertajam kepekaan pemerintah terhadap tuntutan rakyat. Pemilu tersebut dilaksakan sebagai bagian daripada sistem demokrasi perwakilan. Demokrasi perwakilan menuntut seorang wakil harus merepresentasikan kepentingan dari terwakil dimana perempuan juga memiliki kesempatan yang sama sebagai wujud kesetaraan dalam politik. Akan tetapi, masih terdapat kendala kurangnya peran perempuan dalam politik, yang salah satunya disebabkan oleh masih kuatnya budaya patriarkis di beberapa kebudayaan sehingga menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.

Sebagai respon atas fenomena diskriminasi tersebut, maka dibuatlah kesepakatan Internasional yang mana dalam keterwakilan politik perempuan di parlemen disepakati untuk jumlah minimum 30% anggota parlemen perempuan. Kesepakatan tersebut kemudian dikenal dengan affirmative action "Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik", yang kemudian diratifikasi oleh hampir seluruh negara di dunia. Di Indonesia sendiri juga menyerap kesepakatan tersebut melalui Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005. Selain di parlemen, peran perempuan dalam politik juga semakin meluas dan menguat pada ranah kepemiluan. Jika merunut ke belakang, tepatnya kurang lebih sebelas tahun yang lalu muncul wacana pro-perempuan dengan mengikutsertakan perempuan dalam lini-lini sosial politik selain di parlemen. 

Wacana kemudian menjadi kenyataan dengan disahkannya Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Kebijakan tersebut menghendaki lembaga-lembaga penyelenggaraan pemilu untuk menghadirkan keterwakilan perempuan minimal sejumlah 30%, yang berlaku bagi Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota (Pasal 6 ayat 5), Komposisi keanggotaan PPK (Pasal 41 ayat 3), serta Komposisi keanggotaan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Panwaslu Kabupaten/ Kota (Pasal 72 ayat 8). Kebijakan tersebut dinilai suatu langkah maju dari peningkatan keterwakilan politik perempuan. Meski demikian, secara empiris saat ini anggota perempuan di lembaga-lembaga penyelanggara pemilu masih jauh dari jumlah minimum yang diharapkan. Pasalnya, dikutip dari rumahpemilu.org bahwa dalam hanya ada satu orang anggota perempuan saja di KPU dan Bawaslu selama dua periode berturut-turut (2012-2017 dan 2017-2022). Sedangkan, jumlah calon anggota KPU dan Bawaslu yang hendak diseleksi oleh DPR berturut-turut berjumlah empat orang dan tiga orang. Melihat realita diatas tentunya jumlah tersebut masih jauh dari kata cukup. Kemudian, berbicara mengenai kualitas anggotanya seluruhnya dapat dipastikan sudah kompeten dan berpengalaman dalam kepemiluan. Para anggota perempuan tadi masing-masing pernah bertugas di keanggotaan KPU dan Bawaslu mulai dari tingkat kota/kabupaten, hingga provinsi dengan latar belakang Pendidikan dan pelatihan yang mumpuni. Oleh karena itu, tantangan bagi keterwakilan perempuan masih berkutat pada jumlah yang belum memenuhi kriteria minimum. Serta, bagi yang telah tercapai secara kuantitas bukan berarti lantas mengabaikan kualitas. Perjuangan akan keterwakilan perempuan masih jauh dari kata selesai, kualitas sumber daya manusia (SDM) perempuan yang menjadi representasi politik perlu terus ditingkatkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun