Ketika Sumpah Pemuda dideklarasikan pada tahun 1928, semangat yang menggelora kala itu sudah lebih dari sekadar upaya menciptakan negara baru. Mereka yang masih muda dan penuh energi sungguh-sungguh bersatu untuk cita-cita besar, tanpa terbelenggu oleh teknologi canggih atau fasilitas pendidikan yang memadai. Namun, di era 2024 ini, apa yang kita lihat? Apakah semangat persatuan yang sama masih ada di dalam jiwa para siswa, atau hanya sekadar slogan?
Dibanjiri Gadget, Dipadati Konten Sosial Media
"Bersatu dalam keberagaman" kini bertransformasi menjadi "bersatu dalam obrolan grup daring." Media sosial telah memberikan ruang baru bagi siswa untuk "bersatu"---membicarakan tren terkini, bukan lagi permasalahan bangsa. Seberapa sering kita mendengar siswa berdiskusi soal cita-cita dan masa depan Indonesia? Tampaknya obrolan mereka lebih banyak berkutat pada konten yang sedang viral. Entah itu tren pakaian, makanan, atau video seleb TikTok yang lagi naik daun.
Mungkin inilah "kemajuan" yang didambakan oleh generasi muda kita. Mereka sangat "bersemangat" mempelajari hal-hal yang tidak berhubungan dengan pelajaran, tetapi enggan untuk menggali sejarah bangsa. Bisa dibayangkan jika kita menanyakan pada siswa tentang isi Sumpah Pemuda, apakah mereka akan bisa menguraikan dengan tepat?
Sumpah Pemuda Versi Pelajar Zaman Now
Sumpah Pemuda kini mungkin terdengar seperti sesuatu yang harus "diapresiasi" setahun sekali, cukup dengan upacara dan tugas membuat poster. Kesannya, sumpah ini tidak lebih dari sekadar tugas tahunan. Jika semangat kebangsaan bisa didaur ulang semudah tugas sekolah, mungkin itu memang pilihan praktis untuk generasi yang terbiasa dengan segala yang serba instan. "Sumpah, kita satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa" tampaknya cukup diringkas dalam tulisan di poster, bukan di dalam hati.
Keterlibatan dalam kebangsaan seolah menjadi "menu opsional"---ada hanya ketika ada lomba-lomba sekolah bertema Sumpah Pemuda. Siapa tahu, bisa dapat nilai tambahan atau sekadar pujian. Begitu "aktif" mereka saat ada hadiah di depan mata.
Maju Bersama? Entah Kemana
Slogan "Maju Bersama, Indonesia Raya" memang terdengar megah. Tetapi apakah benar-benar ada jiwa "maju bersama" itu? Mungkin, "maju" yang dipahami siswa adalah mendapatkan lebih banyak likes atau followers di media sosial. Ketika negara maju, apakah mereka ikut maju? Atau justru tertinggal, lebih asyik menatap layar daripada menatap masa depan?
Kita bisa saja berkata, "Siswa adalah agen perubahan masa depan bangsa." Tetapi, tanpa rasa cinta yang nyata pada bangsa, bukankah masa depan itu hanyalah harapan kosong? Sumpah Pemuda 2024 bukanlah sekadar kata-kata, tapi sungguh, semoga bukan hanya kata-kata kosong belaka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H