Tahun Politik, begitulah kata yang sering dilontarkan oleh orang-orang di tahun 2019 ini. Tak bisa dipungkiri bahwa pesta Demokrasi memang terjadi 5 tahun sekali, dan pada tahun ini, tepatnya pada bulan April mendatang, adalah waktu pergantian masa kekuasaan baik Badan Eksekutif maupun Yudikatif.
Bila kita cermati dengan seksama, ternyata sebuah Negara tak ubahnya seperti sebuah rumah tangga. Yang didalam keluarga tersebut memiliki peran tersendiri. Ayah sebagai Kepala Rumah Tangga, bertanggung jawab untuk memimpin dan menafkahi keluarganya; Ibu bertanggung jawab untuk membuat aturan di dalam rumah, agar tidak terjadi 'kerusuhan' dan 'kekacauan' di dalam rumah tersebut; Anak-anak, berkewajiban untuk tunduk patuh kepada Ayah dan Ibu. Melaksanakan semua perintahnya dan menjauhi seluruh apa yang mereka larang. Atau sebagai konsekuensinya, jika anak-anak tidak menuruti aturan yang telah disepakati di dalam rumah, maka mereka tidak akan mendapat 'uang jajan' bahkan tak jarang mendapat 'hukuman'.
Begitu juga dengan sebuah Negara, ada yang berperan sebagai 'Ayah', ada yang berperan sebagai 'Ibu', dan rakyat adalah 'anak-anak' dari 'Ayah' dan 'Ibu' tersebut, yang kebutuhan dan kepentingannya sudah semestinya ditanggung dan diutamakan oleh mereka berdua. 'Ayah' dan 'Ibu' yang baik, adalah mereka yang bersedia berkorban apa saja demi terwujudnya kebutuhan 'anak-anak'-nya. Bukan malah sebaliknya, 'Ayah' dan 'Ibu' mengorbankan anak-anaknya untuk memuaskan kepentingan dan hawa nafsunya sendiri. Apa yang akan 'tetangga' bilang kepada keluarga ini nantinya?Â
Agar fenomena ini tidak terjadi, maka tak heran sebelum mereka 'sah' menjadi sebuah keluarga berikut dengan tugas dan kewajibannya masing-masing, mereka pun membuat komitmen yang harus mereka kerjakan dan realisasikan ketika mereka telah menjadi sebuah keluarga. Namun ketika komitmen dan janji-janji yang mereka ucapkan tidak 'terlaksana', tak jarang akan terjadi 'percekcokan' didalam keluarga tersebut. 'Abang-abang lambe', begitu ungkapan jawanya.
Sebuah keluarga, dapat dikatakan sebagai keluarga yang harmonis, yang baik, santun dan disiplin, apabila keluarga tersebut memang layak diberi predikat seperti itu. Dikatakan harmonis, baik dan santun, ketika seluruh anggota keluarga saling menyayangi dan menghormati, baik di dalam maupun di luar rumah. Dan dikatakan disiplin, ketika seluruh anggota keluarga saling tolong menolong dalam membersihkan serta mengontrol kebersihan rumah. Di sinilah peran penting seorang Ayah yang bertanggung jawab sebagai pemimpin, dan Ibu yang akan mengontrol, agar rumah bisa selalu bersih. Yang tak kalah pentingnya adalah, anak-anak yang harus membantu Ayah dan Ibu, agar kebersihan di dalam rumah senantiasa terasa.
Dapat dibayangkan, apa jadinya jika 'Ayah' selaku pemimpin tidak mau untuk bertanggung jawab atas anak-anaknya? Pun demikian halnya dengan 'Ibu' dan 'anak-anak' yg tidak mau untuk membersihkan' rumah' yang dihuninya ? Sudah tentu 'rumah' tersebut akan menjadi kacau tak karuan, dan kotor bahkan menjijikkan. Penyebab dari permasalahan tersebut adalah kemalasan dan ketidakpedulian. Jika sifat malas dan ketidakpedulian ini tidak dihilangkan dalam sebuah 'keluarga', maka selamanya 'keluarga' tersebut akan berantakan, dan tempat tinggalnya akan selalu kotor.
Contoh lainnya, seorang Manager yang membiarkan para karyawannya untuk bebas dalam bekerja, namun tetap harus sesuai dengan prosedur yang telah disepakati bersama. Di antara para pekerja tersebut ada yang rajin dan bekerja sekuat tenaga, tentu supaya memperoleh hasil yang maksimal pula. Ada juga yang bermalas-malasan, dengan dalih bahwa; manager' tidak akan tahu jika dia sedang bermalas-malasan, tidak peduli nasib kawan kerjanya yang lain, namun dia ingin tetap memperoleh gaji yang sama bahkan melebihi gaji karyawan yang bersungguh-sungguh dalam kerjanya.
Dengan cara korupsi waktu seperti itu, maka akan terjadi perseteruan di antara para karyawan, dan ketidakharmonisan di dalam perusahaan tersebut. Jika ini terus dibiarkan, maka akan terjadi kekacauan dalam manajemen gaji dan berujung pada kehancuran perusahaan diikuti dengan banyaknya karyawan yang di-'PHK' secara mendadak.
Demikian halnya dengan sebuah Negara. Negara yang baik, adalah Negara yang tidak ingin rakyat di dalamnya merasakan kesengsaraan. Pemimpinnya adil, tegas, dan selalu mengedepankan kesejahteraan rakyat. Perekonomian dalam Negara stabil, bersih dari unsur korupsi. Hukum yang diterapkan pun tidak menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Rakyatnya bermoral dan beradab karena dibina dan dididik dengan baik.
Pendidikan tidak mahal, sehingga terlahir dari Negara tersebut para 'calon' cendekiawan yang cakap serta berwawasan luas. Dan masih banyak lagi syarat serta kriteria yang harus diupayakan agar Indonesia nantinya dapat dikatakan sebagai Negara yang maju dan sejajar dengan negara-negara lainnya.
Untuk mewujudkan Negara yang bersih, sehat, harmonis dan terhindar dari berbagai macam permasalahan seperti yang dirasakan akhir-akhir ini, dan tentunya tidak ingin bernasib seperti keluarga maupun perusahaan yang kacau tadi, sudah sepatutnya kita mencari dan mengharapkan pemimpin yang adil dan bijak, di samping juga dengan sistem yang akan diterapkannya.