Sebagai sahabat, kita mungkin terlalu naif. Menyimpan cemburu yang purba. Menangkup sakit hati yang nisbi. Kita terlalu percaya akan bisik halus perasaan. Hingga, kerap kali akal kita terbaring kaku di balik jasad prasangka-prasangka sirik yang kita gelar. Kita bahkan menghidupinya dengan cerita-cerita nelangsa yang fiktif.Â
Serupa kisah sepucuk mawar yang layu sebelum mekar lantaran diterpa angin tipis. Atau, seperti cerita cicak yang terlanjur memutuskan ekor walau hanya disentuh tangan manusia. Maka, tak jarang rintik-rintik rintih tangis, kita sembunyikan dalam kelam kelambu malam.
Kita bahkan terlanjur tega untuk mencubit-cubit tubuh sendiri. Saat menyaksikan orang yang kita cintai berjalan dengan sahabat kita. Kita lantas berpura-pura menguatkan diri dengan membatin, keduanya tak ada hubungan pacaran.Â
Namun, di saat bersamaan, ada seleret kecemasan menguntit. Apa mungkin lantaran kita terlampau lemah untuk diciptakan sebagai makhluk perasa? Hingga, untuk memilah mana iri, cinta, dan persahabatan, amat sulit kita pilih.
Aku. Bukan cuma aku yang mengendus kalian memiliki hubungan lain. Lain orang jua. Sebab, hubungan kalian terlampau akrab. Tidak sekadar sebagai sahabat. Saudara apalagi. Lebih dari itu. Kalian berpacaran. Namun, sudah kerap kali kalian menyanggah. Kalian berkilah benar-benar tidak sedang berpacaran. Atau, boleh jadi kalian memang benar-benar tidak sedang merajut tenun asmara? Berarti, aku saja yang terlalu buta melihat kekariban hubungan kalian dengan kaca mata cemburuku?
Dan kamu. Kamu juga acap menanyakan hal serupa itu pada diriku. Sewaktu aku bersama lelaki, yang sama-sama kita naksir itu, berjalan beriringan pulang sekolah. Kamu mungkin menduga, kami sedang melakukan transaksi janji demi menggelar acara pertemuan malam nanti yang lebih romantis. Mungkin duduk bersama di bawah gong perdamaian sambil mencicipi pop ice rasa sirsak. Atau, jangan-jangan kau menyangka, kami akan ke toko buku dan pulangnya mampir di warung soto ayam Lamongan di sebelahnya.
Ah, untuk itulah, kamu selalu menginterogasiku dengan pertanyaan-pertanyaan yang cukup janggal. Apa dia pernah memegang tanganmu? Memberi bunga kepadamu? Atau sekadar mengirimmu sms berisi puisi-puisi hasil contekan Kahlil Gibran? Tapi, lagi-lagi, kau salah besar soal ini.
Pernah di suatu senja. Kita bertiga jalan bareng di bibir pantai Teluk Kupang. Dia, lelaki satu-satunya yang mengisi palung hati kita berdua, berjalan di antara kita berdua. Di tengah. Sembari melangkah, ia menggenggam tangan kita berdua. Hampir sudah dapat dipastikan, bahwa kita berdua tiba-tiba akan menjelma menjadi kepiting rebus.
Merah. Padam. Malu. Kita pun masing-masing mendefinisikan makna genggaman itu. Tergantung genggaman mana yang paling erat. Dan aku, sudah dapat menuding, tanganmulah yang digenggamnya paling erat. Ia lantas akan menyatakan perasaannya kepadamu disaksikan oleh diriku dan senja Teluk Kupang. Atau sebaliknya.Â
Aku berbahagia, tangankulah yang digenggamnya erat. Dia pun akan mengatakan perasaan sukanya kepadaku, disaksikan oleh dirimu dan senja Teluk Kupang. Namun, sekali lagi, kita hanya dikelabui oleh fiktif perasaan. Itu, tak menjadi nyata sedikit pun.
Bila saja kita berdua jujur terhadap diri sendiri. Maka, tak seharusnya kita berjuang setengah mati setiap hari untuk mencuri perhatiannya. Kita bahkan tak sungkan memakai jaket berwarna pelangi lantaran suatu ketika dalam bis pulang sekolah dia mengatakan senang melihat perempuan berjaket pelangi di dalam bis. Kita pun mati-matian berkorban latihan gitar tiap hari demi menyanggupi pernyataannya kalau dia senang melihat cewek bermain gitar, apalagi mampu menemaninya bernyanyi jazz.