Mohon tunggu...
Muhammad Roihan
Muhammad Roihan Mohon Tunggu... Sejarawan - Sejarawan

Saya adalah lulusan Ilmu Sejarah dari Universitas Indonesia. Bermotivasi tinggi dan aktif dalam kegiatan organisasi kampus dan keanggotaan. Memiliki pengalaman dalam penulisan, penelitian sejarah, propaganda media, dan pengolahan arsip. Aktif mencari pengalaman baru, jejaring sosial, dan berkontribusi terhadap lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Membongkar Patriarki: Menolak Diskriminasi Gender dalam Kontestasi Politik Palembang 2024

11 Agustus 2024   19:02 Diperbarui: 11 Agustus 2024   20:52 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://sinerginkri.com/tanggapi-munculnya-pasangan-fitrianti-agustinda-nandriani-k-maki-sumsel-pemimpin-itu-lelaki-bukan-wanita/2/

Kontestasi politik Kota Palembang kini sudah mulai bergulir dengan munculnya nama-nama pasangan calon (paslon) yang akan menjadi wali kota selanjutnya. Beberapa partai sudah mendeklarasikan paslon mereka, seperti Gerindra yang mengusung Ratu Dewa - Prima Salam, Demokrat bersama PKS mengusung Yudha Pratomo - Baharuddin, dan koalisi Nasdem, PAN, PKB mengusung Fitrianti Agustinda - Nandriani Octarina.

Ketiganya sudah mulai berkampanye dengan menebar baliho dan spanduk di berbagai sudut Kota Palembang. Selain menebar baliho dan spanduk, mereka juga memanfaatkan media online sebagai tempat berkampanye demi menaikkan elektabilitas mereka.

Sejalan dengan itu, belakangan muncul berita online yang terbit pada 31 Juli 2024 dengan judul "Tanggapi Munculnya Pasangan Fitrianti Agustinda-Nandriani, K-MAKI Sumsel: Pemimpin Itu Lelaki, Bukan Wanita." Berita tersebut berisi tentang tanggapan seorang pegiat anti-korupsi yang menjabat sebagai Deputi K-MAKI (Komunitas Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) bernama Feri Kurniawan. Feri mengatakan bahwa Kota Palembang adalah kota yang kental dengan norma keagamaan, khususnya agama Islam, yang dianggap tidak memungkinkan jika dipimpin oleh dua orang perempuan. Ia juga menyatakan bahwa perempuan pun tidak akan mungkin memilih perempuan, karena mereka juga tahu bahwa pemimpin dalam agama itu tetaplah lelaki. Namun, ia menambahkan bahwa boleh saja jika mau dicoba.

Sumber: https://www.infoindonesia.id/info-daerah/96113267488/bagindo-togar-pasangan-perempuan-sulit-menang-di-pilwakot-palembang-2024
Sumber: https://www.infoindonesia.id/info-daerah/96113267488/bagindo-togar-pasangan-perempuan-sulit-menang-di-pilwakot-palembang-2024
Berita senada juga terbit pada 3 Agustus 2024 dengan judul "Bagindo Togar: Pasangan Perempuan Sulit Menang di Pilwakot Palembang 2024." Bagindo Togar, selaku pengamat politik Sumatera Selatan sekaligus Direktur Eksekutif Forum Demokrasi Sriwijaya, memberikan komentar bahwa pasangan Fitrianti Agustinda dan Nandriani Octarina sulit menang karena keduanya perempuan. Ia menambahkan bahwa perlu ada evaluasi peluang untuk menang karena paslonnya perempuan.


Komentar dari pegiat anti-korupsi dan pengamat politik Sumsel ini tentunya sangat merugikan paslon perempuan. Komentar semacam ini menunjukkan betapa belum majunya pemahaman kita tentang kesetaraan gender dalam politik. Dampak dari komentar semacam ini dapat mempengaruhi persepsi publik dan menambah beban bagi calon perempuan yang harus berjuang melawan stereotip, selain dari tantangan politik itu sendiri. Mereka harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan bahwa mereka "cukup baik" dalam posisi kepemimpinan, suatu hal yang jarang dihadapi oleh calon laki-laki.


Komentar bernuansa patriarki juga mengirimkan pesan yang salah kepada masyarakat, terutama generasi muda. Ini dapat membuat perempuan yang bercita-cita terjun ke dunia politik merasa bahwa mereka tidak diterima atau bahwa mereka harus mengikuti standar ganda yang tidak adil. Hal ini dapat menghalangi partisipasi perempuan dalam politik dan memperlambat upaya menuju kesetaraan gender di ruang publik.

Mereka yang disebut sebagai pengamat politik Sumsel tampaknya tidak mengamati perpolitikan Sumsel secara keseluruhan, sebab ada paslon perempuan yang memenangkan pilkada pada 2020 yang lalu ditengah Pandemi Covid-19. Pilkada yang dimaksud ialah pilkada Kabupaten Musi Rawas yang dimenangkan oleh Hj. Ratna Machmud sebagai Bupati dan Hj. Suwarti Menghadi sebagai Wakil Bupati. Mereka membuktikan bahwa paslon perempuan mampu memenangkan pilkada di Musi Rawas. Jika mengunakan logika dari pendapat pegiat anti-korupsi tadi, maka muncul pertanyaan apakah rakyat Musi Rawas bukan mayoritas beragama Islam? Tentu dapat dibantah dengan contoh kasus tersebut dan pendapatnya itu cacat logika.


Menanggapi komentar terkait kepemimpinan perempuan dalam Islam, tentu perlu mengutip pendapat dari ahlinya. Menurut Ust. Muhammad Iqbal Syauqi dalam tulisannya di website NU Online, ia menyimpulkan bahwa kepemimpinan perempuan bisa saja dilakukan dalam urusan politik, organisasi, maupun pemerintahan. Tidak ada pembedaan baik laki-laki maupun perempuan. Kelayakan menjadi pemimpin bukan disebabkan oleh jenis kelamin, melainkan kompetensi dan kecakapan mereka. Namun, dalam kasus perwalian, imam shalat, juga keluarga, perempuan tidak dapat memimpin karena itu adalah sesuatu yang telah ditetapkan syariat. Kepemimpinan perempuan di ranah publik, kiranya adalah gambaran kondisi sosial dan penerimaan masyarakat terhadap posisi dan peranan perempuan.

Berkaca dari kasus ini, kita bisa menjadikannya sebagai bahan evaluasi bagi media dan masyarakat untuk lebih kritis terhadap komentar atau pernyataan yang merendahkan berdasarkan gender. Pengamat politik, sebagai figur yang memiliki pengaruh dalam membentuk opini publik, seharusnya mempromosikan kesetaraan dan mendorong partisipasi aktif perempuan dalam politik, bukan memperkuat stereotip atau prasangka yang tidak mendasar. Kita harus mendorong perubahan paradigma dalam memandang kepemimpinan. Kepemimpinan bukanlah tentang gender, melainkan tentang visi, kemampuan, dan komitmen untuk melayani masyarakat. Semakin kita membiarkan pandangan patriarki mendikte siapa yang "layak" memimpin, semakin kita merugikan demokrasi dan sulit untuk mencapai masyarakat yang lebih adil dan setara.

Pada akhirnya, untuk menciptakan iklim politik yang inklusif dan adil, kita semua-baik pengamat, politisi, maupun masyarakat umum-harus menolak segala bentuk diskriminasi berbasis gender dan mempromosikan penghargaan terhadap kemampuan individu, tanpa memandang rendah terlebih dahulu. Inilah yang seharusnya menjadi fondasi dalam memilih pemimpin kita di masa depan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun