Mohon tunggu...
Muhammad Fajrul Falah
Muhammad Fajrul Falah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Teknologi Pangan UPNVJT

Hobi saya adalah membaca buku

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Food Estate : Program Untung atau Buntung

23 Desember 2024   15:34 Diperbarui: 23 Desember 2024   15:34 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pada pidato pelantikan Prabowo Subianto sebagai presiden menyatakan bahwa ia mempunyai keinginan Indonesia bisa mencapai swasembada pangan dalam kurun waktu 5 tahun. Ini adalah pernyataan yang ambisius. Keinginan ini diwujudkan dengan dalam program Food Estate yang merupakan program perluasan lahan pertanian dalam wilayah tertentu untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Program Food Estate dimulai oleh presiden Joko Widodo atas laporan FAO (Food and Agriculture Organization) tentang ancaman kelaparan pada berbagai negara atas terganggunya rantai pasokan pangan dunia yang diakibatkan lockdown pada berbagai negara.

Pada 20 April 2020, Presiden Joko Widodo mengadakan pertemuan dengan para menteri dan pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk segara melakukan konversi lahan gambut untuk produksi beras. Pada beberapa tahun kemudian, food estate merambah ke beberapa provinsi lainnya seperti Papua Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, dll. Presiden Jokowi menetapkan Peraturan Presiden No. 109 tahun 2020 sebagai dasar hukum Program Food Estate. Berdasarkan peraturan itu juga Food Estate adalah bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN).

  Setelah beberapa tahun food estate dijalankan bukannya mendapatkan kesuksesan justru terjadi kegagalan. Contoh food estate di Bulungan, Kalimantan Timur. Rencana seluas 298.221 hektare hanya berhasil ditanam seluas 5 hektare. Food estate di Ketapang hanya berhasil mencetak 100 hektare luas tanam dari 886.959 hektare potensi lahan pertanian. Di Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Rencananya menjadi tempat produksi singkong dengan seluas 31.000 hektare berujung dengan kegagalan.

Kegagalan Food estate terdiri dari banyak faktor. Antara lain :

  • Kurangnya perencanaan yang matang. Pemerintah tergesa-gesa dalam memutuskan daerah mana yang dijadikan sebagai lahan food estate. Tidak adanya proses penelitian dan pengamatan terhadap kualitas tanah. Sebagian besar lahan yang dipilih adalah lahan gambut yang tidak cocok digunakan untuk pertanian. Food estate juga berdampak pada lingkungan. Dengan atas nama penambahan lahan food estste rela menumbangkan hutan. Dengan berkurangnya lahan gambut membuat terganggunya proses siklus karbon.
  • Permasalahan agraria. Sebagian besar lahan yang digunakan tumpang tindih dengan kepemilikan masyarakat lokal. Pemerintah mengambil alih lahan secara paksa atas nama "Program Strategis Nasional". Padahal, masyarakat lokal mempunyai hak untuk mempertahankan tanah adat mereka.
  • Kurangnya Infratruktur yang memadai. Food estate dengan luas sebegitu besar pasti membutuhkan konsumsi air yang besar juga. Kontur tanah dan letak geografis yang terjal membuat kesulitan membangun irigasi yang besar.
  • Kurangnya kontribusi terhadap masyarakat lokal. Pemerintah melakukan intensifikasi pertanian dengan perusahaan swasta. Masyarakat lokal hanya dijadikan sebagai buruh tani. Hal ini tidak sebanding dengan pengorbanan lahan adat mereka dengan upah yang mereka dapat.
  • Kurangnya koordinasi antar instansi pemerintah. Program food estate dibawahi oleh kementerian Pertanian. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pertahanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan pemerintah daerah. Banyaknya instansi yang terlibat membuat kurangnya koordinasi dalam pengembangan food estate. Tidak adanya kontribusi dari masyarakat juga membuat gagalnya program ini.

Food estate digadang-gadang sebagai obat penyembuh atas permasalahan pangan di Indonesia. Namun, banyak permasalahan yang terjadi membaut sulitnya terbangun food estate yang berjalan lancar. Menurut World Resources Institute, food estate bukanlah solusi tepat untuk mencapai ketahanan pangan karena permasalahan utama pangan di Indonesia adalah terkait distribusi, bukan ketersediaan. Infrastruktur pertanian yang buruk, biaya logistik yang mahal, manajemen barang yang lemah dan panjangnya rantai pasok merupakan penyebab masalah distribusi pangan di Indonesia. Maka dari itulah. Lebih baik memanfaatkan lahan pertanian yang sudah ada dan memberikan subsidi pupuk dan perkembangan teknologi pertanian kepada petani lokal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun