Mata uang nasional Indonesia, Rupiah, kerap disebut sebagai salah satu mata uang paling penting di dunia. Proyeksi menyebutkan, pada 2045 mendatang, perekonomian Indonesia akan menjadi salah satu yang terbesar dengan perkiraan Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 9,1 triliun dolar AS. Angka ini melampaui Jepang, banyak negara besar di Kawasan Eropa, dan hanya kalah dari India, Amerika Serikat, serta Tiongkok. Tentunya, hal ini menjadikan Rupiah memiliki arti penting secara global. Namun, terdapat satu kendala; Rupiah Indonesia dinilai sangat lemah. Pelemahan ini bukan hanya terjadi dalam beberapa tahun terakhir akibat pengaruh suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (The Fed), melainkan terus berlangsung sejak puluhan tahun lalu.
Pada awal 1970-an, Rupiah dipatok terhadap dolar Amerika dengan nilai tukar 1 dolar AS setara 415 Rupiah. Meski angka tersebut mungkin terlihat besar, namun saat ini, satu dolar AS nilainya telah mencapai lebih dari 15.000 Rupiah. Ini menandakan peningkatan nilai tukar yang sangat drastis sejak era 1970-an.
Rupiah pertama kali diperkenalkan pada 1946, di tahun-tahun awal perjuangan kemerdekaan Indonesia. Nama mata uang ini berasal dari Rupee India, yang mencerminkan hubungan historis Indonesia dengan negara tersebut. Peristiwa penting pertama yang berdampak pada Rupee terjadi pada 1965 saat inflasi melonjak hingga 635 persen.
"Perubahan politik pada 1966 membawa reformasi kebijakan ekonomi, termasuk program stabilisasi seperti keringanan utang, pengetatan cadangan bank, dan pencabutan pembatasan impor,"
Meski terdapat upaya-upaya tersebut dan diperkenalkannya rupiah "baru" yang menghapus rupiah lama dan menggantinya (nilai 1 rupiah baru setara 1.000 rupiah lama), namun rupiah masih terus mengalami devaluasi.
Penurunan yang cukup besar terjadi pada akhir 1990-an saat Krisis Keuangan Asia melanda pada 1997. Krisis ini memberikan dampak sangat besar terhadap Indonesia dan negara-negara serta mata uang di kawasan tersebut. Selain dampaknya secara ekonomi, terjadi pula kerusuhan sosial yang meluas dan pada akhirnya berkontribusi pada lengsernya Presiden Soeharto.
Akibatnya, nilai tukar Rupiah yang tadinya 2.600 per dolar, turun drastis hingga di atas 11.000 Rupiah per dolar dalam hitungan beberapa tahun! Bahkan Rupiah sempat terpuruk hingga 14.000 per dolar. Meski pada akhirnya nilai tukar Rupiah melemah, namun tidak pernah kembali seperti semula.
"Sejak saat itu, nilai tukar rupiah bisa dibilang stabil. Program stabilisasi ekonomi negara berhasil dan nilai tukar Rupiah berkisar antara 10.000 hingga 16.000 per dolar,"
Kendati terdapat kendala seperti pandemi Covid-19 yang menyebabkan nilai tukar Rupiah sempat melonjak di atas 16.000 per dolar, namun secara umum nilai tukar Rupiah sudah jauh lebih stabil, setidaknya dibandingkan pasca Krisis Keuangan Asia 1997-1998.
Untuk memahami pergerakan suatu mata uang, kita perlu meninjau penerbitnya. Di Indonesia, penerbit Rupiah adalah bank sentral atau yang dikenal sebagai Bank Indonesia (BI). BI memiliki peranan penting dalam mengelola nilai tukar Rupiah sebagai respons terhadap ketidakpastian perekonomian global seperti antisipasi kenaikan suku bunga The Fed dan melemahnya perekonomian Tiongkok.
"Bank Indonesia secara proaktif mengelola nilai tukar Rupiah. Misalnya, mereka menaikkan suku bunga acuan menjadi 6 persen dengan tujuan menstabilkan nilai tukar Rupiah dan mengelola potensi dampak inflasi dari barang-barang impor," jelas Josua Pardede, ekonom dari Bank Permata.