Dalam konteks Indonesia, sejarah mencatat beberapa bencana besar pernah terjadi seperti letusan Gunung Krakatau tahun 1883 yang terdengar hingga 4.800 kilometer jauhnya, atau tsunami Aceh 2004 dan gempa Yogyakarta 2006 yang menelan korban jiwa hingga ribuan orang.
Namun bangsa ini selalu bangkit kembali dari keterpurukan demi meneruskan roda kehidupan. Gigih dan pantang menyerah mungkin sudah menjadi darah daging karakter mayoritas rakyat Indonesia dalam menghadapi kesulitan yang datang silih berganti. Kemampuan adaptasi tinggi dan rasa syukur akan ke berlimpahan alam juga sering ditemui dalam keseharian masyarakat desa dan pedalaman.
Hal ini tentu sebuah modal bagi Indonesia untuk mewujudkan masa depan gemilang di 2045 nanti. Yang kini diperlukan adalah menata ulang strategi pembangunan nasional untuk tidak selalu berorientasi jangka pendek, melainkan berwawasan ke depan dengan mengedepankan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Sebab, pikiran yang besar akan selalu melahirkan karya-karya monumental yang fenomenal.
Revolusi Teknologi Menuju Indonesia Emas 2045 Salah satu kata kunci agar bangsa ini tidak ketinggalan kereta peradaban global adalah melakukan revolusi teknologi. Negara-negara maju seperti Singapura, Korea, dan Cina saat ini fokus pada pemanfaatan inovasi teknologi digital untuk transformasi ekonomi nasional mereka yang dinilai telah mencapai jenuh, yakni persaingan antar industri konvensional saja. Maka dengan digitalisasi yang mengoptimalkan online system dan platform virtual, sektor usaha baru bermunculan tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Di Singapura sendiri telah hadir talenta digital muda berprestasi dalam membangun startup teknologi canggih yang bernilai miliaran dolar Amerika, kendati secara geografis negara tetangga ini sangat kecil. Sementara Cina, kini menjadi raksasa teknologi dan ekonomi digital terdepan di dunia melalui inovasi dari perusahaan lokal sekelas Alibaba, Tencent, Huawei, dan Bytedance.
Lantas apa yang sedang dilakukan Indonesia untuk menyongsong bonus demografi guna bersaing di era teknologi disruptif ini? Pertanyaan tersebut sejatinya tak lepas dari fenomena lain yang perlu disimak. Di kawasan regional ASEAN, mayoritas tenaga profesional dan talenta terbaik justru banyak berasal dari Indonesia. Mereka membangun kesuksesan startup rintisan di luar negeri seperti Grab dan Gojek di Singapura, serta Traveloka dan Tokopedia yang sukses besar merambah pasar regional.
Ironisnya inovasi dan adopsi teknologi digital di dalam negeri tergolong masih rendah dan belum menjadi prioritas utama kebijakan pemerintah. Meski demikian, ekosistem industri digital lokal diprediksi bakal menyumbang GDP sebesar US$ 150 miliar per tahun pada 2025 nanti. Angka ini tentu menjanjikan dan Peluang bonus demografi tidak boleh dilewatkan untuk merevolusi cara kerja dan pola pikir bangsa melalui teknologi.
Revolusi Industri 4.0 saat ini tengah berlangsung gesit di dunia. Teknologi canggih seperti blockchain, big data, quantum computing, hingga kecerdasan buatan (AI) berkembang kian pesat untuk digitalisasi semua sendi kehidupan. Maka dari itu, kesiapan SDM melalui pendidikan komputasi dan literasi data mutlak diperlukan sedini mungkin. Jika pribumi Indonesia gagal menguasai teknologi masa depan ini, maka digital colony akan terjadi di mana bangsa kita hanya menjadi konsumen produk cerdas korporasi asing.
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pernah menargetkan akan ada sekitar 124 juta talenta digital Indonesia pada 2030 yang siap bersaing global. Angka ini sekitar 45% dari total populasi generasi milenial dan Gen Z berusia produktif saat itu. Target ini cukup ideal, namun eksekusi pencapaiannya yang menjadi kendala nyata.
Karena itu, program-program pemerintah seperti Kartu Prakerja perlu terus disempurnakan dan diperluas cakupannya untuk memberikan pelatihan digital dan komputasi gratis bagi putra putri bangsa dari berbagai latar pendidikan. Platform e-learning dengan konten pembelajaran modern dan terstruktur pun perlu dikembangkan agar bisa diakses semua lapisan masyarakat dari desa hingga perkotaan.
Skema link and match antara dunia pendidikan dan industri digital juga penting untuk mencetak talenta-talenta handal sejak dini yang bisa membawa nama harum Indonesia di kancah global. Sebab persaingan di abad 21 tidak lagi soal negara dengan penduduk paling banyak atau kekayaan alam melimpah. Melainkan tentang siapa yang unggul dalam menguasai dan menciptakan teknologi terdepan untuk kemaslahatan umat manusia.