Mohon tunggu...
Devan Alhoni
Devan Alhoni Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas Dan Konsultan Independen

Seorang penikmat karya-karya abstrak dan filosofis, Saya memiliki hasrat yang mendalam untuk menjelajahi makna-makna tersembunyi dalam setiap untaian kata. Pena dan buku menjadi kawan setianya dalam mengarungi samudra gagasan yang tak berbatas. Bagi saya, menulis bukan sekadar mengekspresikan pemikiran, melainkan juga upaya untuk menggali kebenaran di antara celah-celah realitas. Membaca pun tak hanya sekadar aktivitas menelan baris demi baris kata, tetapi juga menjadi petualangan intelektual yang tak pernah usai. Dengan kecermatannya dalam mengurai konsep-konsep kompleks, saya senantiasa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang eksistensi manusia dan alam semesta. Baginya, dunia adalah panggung metafisika yang tak pernah mengering dari teka-teki untuk dipecahkan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Prasangka Manis Mimpi Makmur 2045: Antara Janji Politik dan Realita Bangsa

17 Maret 2024   17:12 Diperbarui: 17 Maret 2024   17:12 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara Indonesia? Sektor pertanian masih menopang sebagian besar ekonomi nasional hingga hari ini. Cita-cita menjadi lumbung pangan masih menjadi slogan utama pemerintah dalam melihat visi masa depan. Tingkat ketergantungan teknologi pada bangsa lain pun sangat besar, bahkan dalam hal kebutuhan energi sekalipun.

Oleh karena itu, sangat keliru jika Indonesia berharap bisa mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hanya dengan andalan jumlah penduduk usia produktif yang banyak dan sumber daya alam melimpah. Logika sederhananya, tidak akan pernah ada bukti sejarah di mana sebuah negara menjadi maju sekadar karena dua faktor tersebut. Justru, beberapa akademisi di Belanda pernah merumuskan hipotesis menarik tentang "kutukan sumber daya alam melimpah" bagi sebuah negara berkembang.

Kunci utama kemajuan suatu bangsa sesungguhnya terletak pada kualitas sumber daya manusianya, bukan kuantitasnya. Seberapa besar rasio positif dari total populasi yang memiliki integritas, kejujuran, dedikasi dan etos kerja tinggi-lah yang menentukan. Jumlah guru, dokter, peneliti ataupun pekerja tidak ada gunanya jika mutu moralitasnya rendah. Mereka hanya akan mencuri dan memboroskan anggaran negara yang sebenarnya sangat minim.

Jika mutu SDM rendah, kekayaan alam berlimpah pun percuma karena hanya akan dieksploitasi asing. Maka selayaknya, negara-negara maju seperti Norwegia justru hanya memiliki penduduk sedikit dengan kekayaan alam tertentu. Namun kualitas SDM mereka sangat tinggi sehingga surplus produksi minyak dan gas bisa digunakan untuk investasi masa depan bangsa melalui dana abadi.

Oleh karena itu, pimpinan bangsa ini diperingatkan untuk tidak lagi menebarkan janji-janji manis kemakmuran 2045 hanya dengan mengandalkan dua faktor yang sesungguhnya bukan kunci utama tersebut. Sudah saatnya Indonesia bangkit dari tidur panjang dan bermetamorfosa menjadi Macan Asia yang di masa lalu pernah mampu memproduksi kapal laut terbesar kedua di dunia, jet tempur, hingga mobil nasional sendiri.

Seluruh komponen bangsa harus bersatu padu membangun SDM unggul, membangkitkan etos kerja, integritas dan kejujuran. Sementara melimpahnya bonus demografi dan sumber daya alam hanyalah berperan sebagai fondasi dan modal pelengkap untuk mencapai satu tujuan mulia, yakni Indonesia Emas 2045.

Menelaah Kembali Kunci Kunci Penting Lantas apa sesungguhnya kunci utama agar suatu bangsa bisa maju? Tentu persoalan ini memiliki banyak teori dan hipotesis, tetapi Indonesia secara khusus perlu menelaah kembali kunci-kunci penting yang selama ini terabaikan dalam pembangunan berkelanjutan di segala bidang.

Pertama, industrialisasi. Presiden Soekarno sempat menggagas revolusi mental dalam bentuk gerakan Tri Sakti yakni berdaulat di bidang ekonomi, berdaulat di bidang politik, dan berkepribadian dalam kebudayaan nasional. Hal ini penting untuk mendorong peningkatan produktivitas bangsa sendiri dalam berbagai sektor agar tidak selamanya tergantung asing.

Sayangnya gagasan ini terpotong momentum sejarahnya akibat langkah Soeharto yang lebih memilih jalur pragmatis dengan mengandalkan investasi asing dan eksploitasi bumi-tenaga murah. Namun ada pelajaran penting di sini, era industrialisasi pada dasarnya harus dimulai dari dalam dengan memanfaatkan komponen lokal seoptimal mungkin, tidak sekadar menggiurkan asing semata.

Kedua, peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia. Wacana penguatan SDM sesungguhnya sudah ada sejak Orde Baru dengan konsep wajib belajar 9 tahun. Ini cukup maju pada masanya meski pelaksanaannya masih menyisakan persoalan klasik seperti rendahnya akses pendidikan di daerah terpencil dan tingginya angka putus sekolah dini.

Pada era reformasi, persoalan peningkatan kualitas SDM belum mendapat perhatian maksimal akibat instabilitas politik pasca lengsernya Soeharto. Menteri Pendidikan era Gus Dur, Malik Fajar bahkan pernah berdebat secara filosofis apakah Indonesia membutuhkan banyak sarjana atau tenaga kerja terampil saja untuk bisa bersaing. Pada kenyataannya, tantangan disruptif di abad 21 ini membutuhkan kombinasi keduanya dengan skema link and match antara pendidikan dengan dunia industri serta revolusi mental.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun