Rasulullah SAW. Kelak, jika sesuatu terjadi padaku maka teruskan perjuanganku, kita akan jumpa kelak dengan perjumpaan yang abadi" - Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa
"Salam rinduku untuk kalian semua jama'ah MajelisPada tahun 2013, saat itu saya baru duduk di bangku Tsanawiyah, tepatnya kelas 7. sebagaimana biasanya, kami para murid beserta guru melaksanakan shalat Zuhur berjamaah di mushola sekolah. Namun, pada hari itu -tepatnya senin, 16 September 2013- kami tidak hanya sholat zuhur saja, melainkan ditambah dengan adanya shalat ghaib. Salah satu guru kami yang menjadi imam mengabarkan bahwa salah satu Ulama' besar di Kota Jakarta telah berpulang ke rahmatullah, yakni Habib Munzir bin Fuad al-Musawa dalam usia yang masih terbilang muda, yakni 40 tahun.
Sebelumnya, tepatnya hari minggu malam, saya sudah melihat kabar meninggalnya beliau yang di share oleh berbagai akun di facebook. Namun, saya hanya membaca sekilas dan berucap 'innalillah wa inna ilaihi rajiun', dan belum mengenal sosok beliau yang ternyata begitu kuat pengaruh dakwahnya di Ibukota. Memang betul, sebagaimana orang-orang bijak pernah mengatakan, "Seseorang baru akan merasa kehilangan dan mencintai sosok tersebut, setelah sosok itu telah tiada." Entah kenapa, setelah kepergian Habib Munzir, rasa penasaran saya memuncak untuk membaca biografi yang berkaitan tentang beliau. Â Dari mendalami kisah beliau itulah, terbitlah rasa cinta bahwa beliau merupakan sosok pendakwah yang begitu mengangumkan.
Bagaimana tidak dibilang mengangumkan, ketika wafatnya saja ribuan umat mengantarkan jenazah Habib Munzir hingga ke liang lahatnya. Tentunya, hal tersebut tidak lepas dari kontribusi dakwah beliau semasa hidupnya. Sebagaimana yang ketahui, beliau merupakan Pimpinan Majelis Rasulullah SAW; salah satu majelis ilmu dan sholawat terbesar di Jakarta.
Perlu diketahui, Majelis Rasulullah SAW yang dibina oleh beliau sampai akhir hayatnya -bahkan masih eksis hingga hari ini- tidak langsung besar dan ramai sebagaimana yang kita lihat hari ini atau sebelum kewafatannya. Akan tetapi, Habib Munzir merintis majelis tersebut benar-benar dari nol yang bermula pada tahun 1998. Pada awalnya, beliau mulai berdakwah dari rumah ke rumah, mengajarkan terkait permasalahan fiqih ringan seperti tata cara wudhu, shalat, puasa, serta yang lainnya. Namun, karena dirasa kurang menarik perhatian, Habib Munzir mengubah cara penyampaian dakwahnya dengan memberikan tuntunan kebaikan yang bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits Nabi SAW. Dengan suara khasnya yang sejuk, beliau mengajak orang-orang yang hadir pada waktu itu untuk mencintai Allah ta'ala dan Rasulullah SAW.
Dari semenjak itulah, dakwahnya mulai mengalami peningkatan dalam segi jama'ah. Yang sebelumnya beliau berdakwah dari rumah ke rumah, lalu beliau pindahkan secara bergantian pengajian tersebut ke beberapa masjid. Hingga pada akhirnya, ketika jama'ah semakin bertambah dan tempat majelis sudah menetap di satu masjid saja, beliau "didesak" untuk segera memberikan nama majelis. Maka, terbitlah nama Majelis Rasulullah SAW.
Dari tahun ke tahun, khususnya pada pengajian mingguannya di malam selasa, beliau tetap istiqomah untuk mengajak umat untuk terus mengikatkan hati mereka kepada Allah dan Rasulullah. Beliau mengajak umat untuk berzikir kepada Allah SWT dan bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Lalu dengan penuturannya yang lembut, beliau menceritakan tentang akhlak dan sunnah Nabi Muhammad SAW, sehingga banyak umat yang hadir ke majelis beliau, merasakan ketentraman hati. Tentu ceramah beliau bukan sekedar keluar dari lisannya saja, akan tetapi Habib Munzir telah mempraktekkan terlebih dahulu budi pekerti dan perangai yang mencontoh sang Nabi SAW
Ketika kita tarik mundur cerita tentang beliau ke masa kecilnya. Habib Munzir merupakan sosok yang telah "tampak" istimewanya. Sebagaimana cerita yang saya dengar dari saudara kandungnya, Habib Munzir merupakan sosok yang sangat mengidolakan Nabi Muhammad SAW sedari kecilnya. Contohnya saja, ketika beliau berkesempatan menjadi imam sholat tarawih bersama keluarganya di Rumah, Habib Munzir selalu membaca Qur'an Surat Muhammad. Sampai-sampai, kedua abangnya (Habib Nabiel dan Habib Ramzi) menjadi hafal karena beliau selalu berulang-ulang melantunkan surat tersebut.
Kecintaan Habib Munzir kepada Nabi Muhammad SAW tersebut bukan hanya obsesi sesaat saja. Tetapi kontinuitas dari cinta yang mendalam kepada Nabi SAW itulah yang akhirnya beliau lebih memilih belajar ilmu agama di Pondok Pesantren ketika lulus SMA -padahal beliau memiliki riwayat penyakit asma'- daripada melanjutkan belajar pengetahuan umum ke perguruan tinggi sebagaimana keinginan ayahnya. Bahkan, dari kecintaannya yang begitu kuat kepada Nabi SAW, beliau korbankan tenaga, harta, dan umurnya untuk berdakwah ilallah (menyeru kepada manusia untuk kembali ke jalan Allah ta'ala)
Selama berdakwah baik di Majelis Rasulullah maupun memenuhi undangan ceramah di berbagai tempat, Habib Munzir merupakan sosok yang merangkul semua umat tanpa terkecuali. Beliau pandang semua orang yang hadir dengan pandangan kasih sayang, walaupun orang tersebut masih jauh dari Allah. Bahkan ketika sepulang dari majelisnya, tatkala melihat orang yang masih maksiat di jalanan Ibukota, beliau langsung mendoakan agar orang tersebut mendapatkan hidayah.
Begitulah dakwah ala Habib Munzir, beliau selalu berprasangka baik kepada manusia seluruhnya (Husnudzan). Ucapan yang keluar dari lisan dan mata beliau tak pernah sekalipun memandang rendah orang lain. Tangan beliau selalu bergerak untuk merangkul bukan memukul. Maka saya tidak heran begitu melihat betapa banyaknya umat yang bertaubat dan kembali ke jalan Allah SWT melalui perantara beliau. Coba saja, ketika Habib Munzir merasa dirinya paling mulia dan memandang orang lain hina dan tidak merangkul dengan cinta, tidak mungkin dakwah beliau akan berhasil.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!