Mohon tunggu...
Muhammad Rafif
Muhammad Rafif Mohon Tunggu... Novelis - Mahasiswa

Selama belum masuk ke liang lahat, selama itu pula kewajiban menulis harus ditunaikan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Buang Jauh-jauh Mengidolakan Seseorang Secara Fanatik

24 Desember 2022   17:23 Diperbarui: 24 Desember 2022   17:24 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Canva

Perhelatan piala dunia di Qatar telah berakhir. Pertarungan 32 negara dalam lapangan sepak bola telah mewarnai kehidupan semua orang: baik anak-anak, para remaja, hingga para orang tua yang sudah lanjut usia turut serta dalam mengikuti pertandingan demi pertandingan. Suka dan duka; gembira dan menderita; pujian dan makian terbungkus menjadi satu ketika menyaksikan pesta akbar sepak bola 4 tahun sekali tersebut.

Piala dunia ini bukan hanya disaksikan oleh laki-laki saja, namun lebih jauh lagi World Cup telah menghipnotis para perempuan yang biasanya tak menonton pertandingan sepak bola menjadi suka dan senang menyaksikan sampai habis. Masing-masing dari mereka tentunya memiliki negara-negara unggulan yang difavoritkan untuk menjadi juara. Biasanya, hampir semua orang, mereka memfavoritkan negara tersebut bukan karena taktik dan permainnya bagus; akan tetapi adanya pemain yang mereka idolakan di negara itu.

Hingga pada akhirnya, Argentina menjadi juaranya pada piala dunia tahun 2022 yang diadakan di Qatar. Tentunya, kemenangan Argentina hingga mengangkat trofi disebabkan banyak faktor, selain adanya faktor kerja sama tim yang sungguh sangat baik dan dibungkus dengan gaya permainan yang menarik; ada juga faktor yang sebagian besar orang klaim hal menjadi kunci kemenangan argentina, yakni dikarenakan Lionel Messi mampu bermain dengan apik di sisa masa terakhirnya bermain di piala dunia.

Namun, setelah perhelatan itu sudah berakhir, ada satu kontroversi yang mana pada awalnya hal tersebut memang sudah terjadi jauh sebelum piala dunia dimulai. Namun, pada akhir-akhir ini pertikaian itu semakin memanas hingga membuat jenuh untuk dilihat. Kontroversi itu datang bukan dari pemain bola, namun dari fans yang terlalu fanatik pada pemain tersebut. Hal ini banyak terlihat di media sosial, antara fans yang mengidolakan Messi dan fans yang mengidolakan Ronaldo. Utamanya, kedua fans itu bertengkar seputar permasalahan mana yang dianggap terbaik dalam sejarah sepak bola pada zaman ini. Yang mengidolakan Messi tentunya mengatakan bahwa sang idolanya itulah yang pantas digelari dengan sebutan Greatest of All Time (GOAT) sebab Messi telah mendapatkan banyak penghargaan dan trofi, bahkan terakhir ia telah berhasil membawa negaranya menjadi juara di piala dunia. Sementara, fans Ronaldo tak mau mengakui dan menerima kenyataan tersebut, dan tetap berpegang kuat bahwa sang idolanya yang tetap menjadi yang terbaik.

Keributan ini sebenarnya tak perlu dilakukan, apalagi sampai menghina dan mencaci yang lain. Dalam mengidolakan seseorang, kita diajarkan untuk tidak terlalu mati-matian dalam membelanya. Kita diajarkan untuk selalu inklusif dan memakai logika ketika memandang sesuatu. Hal itu dilakukan agar kita selalu memandang secara adil ketika melihat sesuatu, walaupun hal itu datang dari kelompok luar yang pada dasarnya berbeda idola dengan kita.

Pada permasalahan Ronaldo dan Messi mana yang terbaik, saya tidak akan ikutan dan fokus dalam menilai hal tersebut. Yang ingin saya pertanyakan disini adalah apa perlu bertengkar antar kedua kubu mengenai masalah yang menurut saya tidak terlalu penting? Apalagi sampai berlarut-larut hingga membuat orang di luar kedua kubu itu jenuh dan bosan melihatnya. Saya rasa hal itu membuang-buang waktu kita saja. Memangnya dapat apa ketika kita saling membela masing-masing dari idola kita secara fanatik, apakah kita dikasih uang? Apakah kita bisa tinggal bersamanya ketika kita membelanya? saya rasa tidak.

Malah, dari adanya fanatisme itu, kita menjadi terpecah dan bahkan bisa melahirkan konflik yang ada. Cobalah kita lihat di sekeliling kita; di wilayah kita; di negara kita saat ini, berapa banyak seseorang ribut gara-gara berbeda pilihan politik hingga sesama saudarapun tak lagi akrab? berapa banyak dari kita yang karena berbeda agama atau bahkan berbeda mazhab saja deh dalam Islam, kita masih saja saling menyerang antara satu sama lain? Padahal, bukankah perbedaan itu wajar-wajar saja dalam kehidupan yang dinamis ini?

Tidak cukupkah fanatisme dalam ranah agama dan politik, hingga pada saat ini fanatisme juga menjalar di ranah sepak bola? Tidak jerakah kita dengan adanya peristiwa kelam di dalam sepak bola beberapa waktu lalu karena awal mula diakibatkan oleh sikap fanatisme kita? hal ini perlu kita pikirkan bersama. Kita bebas dan boleh mengidolakan messi. Kita boleh megidolakan Ronaldo. Namun, jangan sampai ketika kita mengidolakan Ronaldo, kita jadi menjelek-jelekkan Messi, hal itulah yang pada dasarnya dilarang. Kemudian, Kita boleh sebagai fans, menganggap bahwa idola kitalah yang terbaik, namun tak perlulah sampai merendahkan idola orang lain. Juga di lain sisi, kita harus sadar diri dan harus menerima ketika idola orang lain, misalnya Messi mendapatkan penghargaan. Kita sebagai fans Ronaldo tak perlu panas dan tak perlu mempersiapkan argumen yang membuat keributan tambah panjang ketika Messi digelari dengan sebutan GOAT oleh para fansnya. Ketika kita sebagai fans Ronaldo tak mau mengakui Messi sebagai yang terbaik dalam dunia sepak bola era sekarang, lebih baik kita diam saja. Karena sikap itu menunjukkan adanya saling menghargai.

Harusnya, daripada kita terlalu menghabiskan waktu untuk membela idola kita secara mati-matian yang bahkan tak ada benefit-nya sama sekali; lebih baik gunakan waktu tersebut untuk merenung dan merefleksikan diri kita. Sebab, kita jarang sekali meluangkan waktu kita untuk hal tersebut. Terkadang, kita lebih sibuk dan jelas melihat orang lain, namun buta ketika memandang diri kita sendiri. Kita sering sekali melihat idola-idola kita mendapatkan penghargaan dan gelar yang membuat ia menjadi salah satu yang terbaik; namun kita sendiri masih saja tak mau berusaha dan jalan ditempat untuk menjadi yang terbaik. Jangankan menjadi yang terbaik, menjadi orang yang bermanfaat untuk hari ini saja kita masih belum optimal.

Maka dari itu, tak penting terlalu mati-matian untuk membela idola kita. Yang harusnya dipentingkan sekarang adalah kita harus berjuang dan optimis bahwa pada saatnya nanti kita bisa menjadi yang terbaik versi diri kita seperti idola kita. Oleh karena itu, pergunakan waktu kita untuk mempersiapkan diri kita menjadi yang terhabat, sehingga kita tak ada waktu untuk saling mendebat. Optimalkan waktu kita untuk menjadi yang terbaik, sehingga kita bisa dengan mudah berjaga jarak dengan sesuatu yang berbau fanatik.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun