Memasuki tahun politik 2019, salah satu bagian yang menarik dalam ajang lima tahunan pesta demokrasi Indonesia ini ialah bagaimana calon presiden dan wakil presiden menyampaikan narasi-narasi politik guna mengambil simpati masyarakat dan juga sebagai "alat perang" diantara dua kubu, Prabowo-Sandiaga Uno dan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.
Jika kita melihat dan menganalisis lebih jauh narasi politik yang kerap digaungkan oleh kedua kubu, baik di media cetak, televisi, dan juga media online, sangatlah bertolak belakang.Â
Jokowi sebagai petahana, kerap melontarkan narasi optimistik terhadap masa depan Indonesia, hal ini ditunjukkannya dengan klaim pembangunan infrastruktur yang maju dengan sangat pesat dan juga berhasil menurunkan angka kemiskinan di masa pemerintahannya.Â
Tidak cukup di situ, Jokowi dalam berbagai kesempatan juga menyampaikan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu kekuatan ekonomi dunia.
Sebaliknya, kubu Prabowo yang berada pada kelompok oposisi cenderung memilih narasi politik yang menggambarkan pesimistis terhadap kondisi negara di masa pemerintahan Jokowi.Â
Salah satu narasi yang kerap dilontarkan oleh kelompok oposisi yakni hutang negara yang semakin meningkat, masalah lapangan pekerjaan, kuasa asing pada sektor tambang, dan yang paling fenomenal yakni statement Prabowo yang mengatakan 2030 Indonesia akan bubar.
'Politikus Sontoloyo' Vs 'Tampang Boyolali'
Narasi politik yang bersebrangan antara kedua kubu semakin memanas, misalnya pada tanggal 22 Oktober 2018 dalam acara pembagian 5.000 sertifikat tanah di Lapangan Sepakbola Ahmad Yani, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Jokowi mengatakan, masyarakat harus berhati-hati, banyak politikus yang baik-baik, namun ada juga politikus yang 'sontoloyo'.Â
Tafsir dari kalimat 'sontoloyo' ini ini disampaikan Jokowi berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang menggelontorkan anggaran 3 Triliun Rupiah untuk dana kelurahan pada tahun 2019 yang akan datang. Kebijakan tersebut, menurut Jokowi dilihat oleh kelompok oposisi sebagai suatu kebijakan yang negatif.
Seperti yang dilontarkan oleh Fadli Zon, wakil ketua DPR RI, pemerintah dalam membuat kebijakan tersebut tidak memiliki payung hukum yang jelas, dan penuh akan syarat kepentingan dalam membangun citra politik Jokowi dalam ajang kontestasi politik 2019.
Seakan membela diri, Jokowi menuturkan bahwa langkah tersebut diambil guna mempercepat pembangunan ekonomi dan infrastruktur di daerah, tidak ada kaitannya dengan tahun politik.Â