Akhir akhir ini kita sering di hadapkan pada situasi sulit. Data menjadi bagian yang seakan akan tidak bisa di pisahkan di muka bumi ini bahkan mengalahkan firman tuhan ditiap individu. Sains menuntun kita untuk berifikir matiril atau nyata. Metode berifikir barat menjadi sebuah acuan tentang cara berfikir dunia sekarang. Pernah kah kita berfikir bagaimana dunia kapitalis ini menjalankan aksinya ?
        Tentunya kita mengenal VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) Perusahaan yang didirikan pada tanggal 20 maret 1602. VOC adalah persekutuan dagang asal Belanda yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Meskipun sebenarnya VOC merupakan sebuah persekutuan badan dagang saja, tetapi badan dagang ini istimewa karena didukung oleh negara dan diberi fasilitas serta hak-hak istimewa (octrooi). Misalnya VOC boleh memiliki tentara, memiliki mata uang, bernegosiasi dengan negara lain hingga menyatakan perang. Hal itu merupakan cikal bakal dari pendirian IMF, Word Bank dan sisitem kapitalis secara keseluruhan. Mereka memanipulasi dan mengkontrol semua kehidupan berbangsa dan bernegara. Hanya bedanya kalau dulu perebutan wilayah, sumber daya alam dan juga infrastruktur sekarang mulai masuk ke ranah sumber daya manusia. Makanya kita mengenal istilah Revolusi industry ke 5. Dimana manusia hanya dijadikan budak pekerja yang kehilangan akal dan nuraninya.
        Pernah tidak kita berfikir kenapa mesti sekolah dasar 6 tahun 3 tahun sekolah menengah dan 3 tahun sekolah menengah atas aerta di seragamkan kurikulumnya padahal kita punya budaya, punya adat, punya kultur yang berbeda ? kenapa dunia pendidikan mesti ada angka sebagai indicator keberhasilan sebuah pendidikan ? Bukankah sejatinya pendidikan itu menumbuhkan kebijaksaan, menghargai perbedaan dan mempertebal iman dan ketaqwaan kita kepada sang pencipta. Selama ini kita di butakan oleh angka, seakan akan angka menunjukkan entitas  kita, jika angkanya rendah kita bodoh jika angkanya tinggi kita pintar, kalau di dunia Kesehatan tensi tinggi dibilang hipertensi tensi rendah dibilang hipotensi. Padahal kita adalah makhluk yang dinamis namun kenapa pengukurannya selalu statis ( Tetap ) Men sana in corpore sano ( di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat ) namun pada kenyataannya pada prakteknya kita lebih focus mengobati tubuh bukan jiwa.  Â
        Dari stimulus stimulus tersebut membuat kita menjadi bangsa yang dengan mudah menilai hanya dengan apa yang tampak ( materiil ). Kita tidak diajarkan untuk empati, simpati, ketulusan, rasa sayang menyayangi. Sehingga hal hal yang bentuknya empati, simpati, ketulusan dan rasa sayang menyayangi kita cari sendiri maknanya. Mungkin saat kita tanya dengan pertanyaan simple saja apa itu simpati masing masing individu memiliki makna yang berbeda beda.
        Lalu kapan kita melihat keEsaan tuhan ? disadari tidak disadari kita jauh dari apa yang telah tuhan berikan kita di tuntun untuk keluar dan tidak mengimani tuhan. Pernah kah kita mendengar cerita kenapa adam di turunkan kemuka bumi ? mungkinkan adam diturunkan ke muka bumi hanya karena memakan buah kuldi ( islam ) ?
Pernah tidak kita berfikir kenapa pendidikan itu di pecah pecah, hukum sendiri, filsafat sendiri, politik sendiri, ekonomi sendiri padahal kita pun bisa mempelajari itu namun seakan akan kita di batasi. mau bicara hukum tidak bisa bicara hukum karena bukan ahlinya, mau bicara poltik tidak bisa yang pada akhirnya ego sektoral. Jadi siapa yang membatasi pikiran kita ? Kita sendiri atau sistem yang di buat ? Â
        Diakhir kata saya pernah membayangkan jika semua desa menjadi kota, dimana kita bergantung pada internet, Hidup kita  ada di tangan para ahli yang dia sendiri tidak tahu takdirnya, Ekonomi kita mengukuti arus global. Tiba tiba di shut down dunia menjadi gelap gulita, kelaparan, manusia saling berebut perlindungan. Kuncinya material tidak selamanya benar dan spiritual sudah pasti benar. Material muncul karena manusia yang memvisualkan tergantung kepentingannya, spiritual muncul karena adanya keimanan.Â
Muhammad Isa
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H