Kita mungkin tak asing mendengar kata Demographic dividend atau orang awam bilang bonus demografi. Jika anda merupakan bagian dari generasi milenial, seharusnya istilah tersebut terdengar lebih familiar. Bonus demografi adalah sebuah fenomena yang penting untuk Anda ketahui. Karena Indonesia akan mengalaminya pada sepuluh tahun mendatang. Akan tetapi sepertinya Indonesia belum terlalu siap menghadapi demographic dividend. Alasannya cukup jelas kita masih berfokus pada investasi jangka panjang tanpa dibarengi dengan pembangunan SDM yang mumpuni disegala sektor.
Menilik lebih jauh demographic devident atau sering disebut bonus demographic merupakan fenomena dimana populasi masyarakat akan didominasi oleh individu-individu dengan usia produktif. Usia produktif yang dimaksud adalah rentang usia 15 hingga 64 tahun. Titik ini menjadi peluang besar bagi sebuah negara untuk meningkatkan performa ekonomi industri. Logikanya jika usia produktif rentang usia 15 hingga 64 tahun meningkat, performa pertumbuhan ekonomi skala nasional juga akan meningkat.Â
Namun faktanya Sampai saat ini, kesehatan reproduksi masih menjadi tantangan dalam meningkatkan kualitas perkembangan remaja, salah satunya dengan adanya kehamilan remaja. Direktur Keluarga, Perempuan, Anak, Pemuda, dan Olahraga Kementerian PPN/Bappenas Woro mengatakan, meski angka kelahiran remaja/Age Specific Fertility Rate (ASFR) pada usia 15-19 tahun menurun secara signifikan, namun usia ASFR semakin muda. Hal ini terlihat pada kenaikan ASFR pada anak usia 10-14 tahun pada tahun 2020. Untuk mengatasinya, perlu ditingkatkan pengetahuan, pemahaman, dan akses layanan kesehatan reproduksi remaja.
Dari data yang disampaikan diatas kita dapat mengambil kesimpulan bahwa usia kelahiran remaja justru semakin muda antara usia 10-14 tahun. Kerugian besar bagi bangsa Indonesia di hari jadi yang ke 100 tahun. Masa-masa emas yang didambakan akan menjadi suatu ancaman besar yang sulit terurai. Remaja kita sangat rentan akan budaya luar. Agama bukan lagi sebuah pedoman hidup. Pendidikan hanya sebagai sarana formalitas yang tidak memiliki esensi dalam pengajarannya untuk menjalankan kehidupan bermasyarat, berbangsa dan bernegara. Â Oleh karena perlu menjadi perhatian serius untuk semua elemen baik dari pemerintah maupun dari calon pekerja atau remaja yang berusia produktif.
Pemerintah sebagai fasilitator utama untuk menghadapi lonjakan bonus demograpi ini maka yang bisa dilakukan adalah dengan menyediakan segala sarana dan prasarana dengan cukup. Misalkan dari segi kesehatan, untuk menjaga seorang individu agar tetap bertahan hidup hingga dan selama masa produktifnya maka perlu alat kesehatan yang memadai. Atau misalkan jika dilihat dari segi pendidikan, pemerintah juga bisa menyediakan sekolah atau sarana prasarana lain yang cukup untuk membentuk sumber daya manusia bersaing. Dan juga bisa membuat kebijakan khusus agar para remaja yang berusia produktif bisa mengakses dunia kerja yang lebih luas dengan memperhatikan kompetensi yang ada.
 Bonus demografi adalah titik dimana mayoritas masyarakat diisi oleh orang-orang produktif. Sehingga sebagai pemuda, maksimalkan segala potensi yang dipunyai. Potensi tersebut bisa disalurkan dengan bekerja dalam suatu perusahaan atau bahkan menjadi seorang pengusaha independen. Alih-alih hanya berfokus pada menunggu masa kegemilangan yang disebabkan bonus demografi 2030 mendatang, sebaiknya ada tindakan preventif dan persiapan untuk menghadapi tantangan tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H