Tradisi Megengan/punggahan merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam. Tradisi
Megengan dimulai pada zaman Walisongo yang diturunkan pada masyarakat sekarang dengan
dirubah dan tetap disesuaikan syariat Islam. Tradisi Megengan dilakukan pada malam terakhir
menjelang Ramadhan. Tujuan dari pelaksanaan Megengan adalah sebagai sarana penyambutan bulan Ramadhan. Makna simbolik perayaan tradisi Megengan antara lain, sebagai bentuk permohonan maaf antar sesama karena akan memasuki bulan Ramadhan. Permohonan maaf digambarkan dalam pembuatan kue apem dalam nasi berkat yang diguanakan untuk acara selamatan. Kue Apem dipercaya oleh masyarakat sebagai simbol permohonan maaf terhadap sesama. Makna simbolik kedua dari tradisi megengan adalah makna saling berbagi antar sesama.Tradisi megengan memili ciri khas dengan pembuatan nasi berkat yang akan dibagikan kepada tetangga dan masyarakat sekitar.Â
Tradisi ini sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat karena masih diberi kesempatan bertemu dengan Bulan Ramadhan. Makna simbolik ketiga adalah sebagai media dakwah penyebaran agama Islam. Model penyiaran agama islam mengadaptasi dari model penyiaran agama Islam pada masa walisongo.
Para walisongo memperkenalkan agama islam dengan menayampurkan nuansa kebudayaan. Ada juga sebagian warga yang menyebut nasi berkat dengan nama asahan. Sega Asahan berupa nasi putih lengkap dengan lauk pauknya hanya saja lauk pauk yang disajikan harus serba kering. Nasi asahan ini melambangkan suatu maksud agar arwah yang meninggal maupun sanak keluarga yang masih hidup kelak akan mendapat pambenganing pangeran atau selalu mendapat ampun atas segala dosanya dan diterima di sisinya.
Tradisi punggahan yang dilaksanakan di desa Jatikerto, kecamatan Keromengan, kabupaten Malang pada umumnya dilakukan di masjid dengan membawa nasi berkat yang tadi sudah di masak akan di bawa ke masjid oleh orang-orang untuk dijadikan satu lalu di bacakan doa oleh kiai atau tokoh agama yang ada di desa tersebut lalu setiap warga yang membawanya akan bertukar.
Asahan tadi antar warga yang membawanya, meskipun masakan yang dibawa tidak lagi spesifik layaknya yang mengandung filosofis seperti kue Apem akan tetapi karena semakin majunya zaman serta derasnya arus globalisasi tak hanya di kota saja melainkan desa juga merasakan dampak dari derasnya globalisasi menjadikan kue-kue yang mengandung filosofis tersebut sudah tidak di bawa kembali ke masjid, sebagian dari mereka bahkan menggunakan makanan-makanan cepat saji seperti ayam Kentucky yang tinggal di beli di restoran maupun pasar hal tersebut sebenarnya bukan menjadi masalah apakah bila makanan-makanan yang tergantikan menggantikan hakikat dari tradisi tersebut ?
Tentunya hal tersebut tidak karena tradisi ini hakikatnya untuk mensyiarkan agama serta menjadi bentuk rasa syukur kita terhadap Allah sebagai sang pencipta serta berkat rahmat dan karunia-Nya kita bisa bertemu kembali dengan bulan puasa, hal positif lainnya dalam tradisi ini tak lain dan tak bukan adalah sebagai sarana agar warga desa semakin guyub dan rukun hal ini terbukti dengan banyaknya warga setempat yang antusias menjaga terus adanya tradisi tersebut secara turun temurun agar tradisi yang baik ini selalu terjaga dan tak hilang di terjang arus kemajuan zaman yang semakin hari semakin membuat generasi muda lupa akan tradisi dan budaya Nusantara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H