Tingkat Jumlah Penduduk Tidak Selalu Sama Dengan Tingkat Partisipasi Peserta Pemilu
Akhir-akhir ini banyak isu-isu mengenai politik, contohnya adalah pemilu terlebih Indonesia adalah negara demokratis dimana hal itulah yang mendukung adanya pemilu. Budiarjo (2009) meyakini secara konvensional kegiatan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, menjadi anggota partai atau memberikan suaranya tetapi hal ini terkadang masih dianggap sepele oleh beberapa kalangan masyarakat. Banyak juga yang engga memilih karena tidak setuju dengan opsinya.
Peran serta atau partisipasi masyarakat dalam politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan politik, dengan jalan memilih pimpinan negara, dan secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kebijakan pemerintah, public policy. Budiarjo (2009) menjelaskan bahwa meningkatnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum, menunjukkan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara. Data pada tahun 2019 pemilu selalu mendapatkan 80% partisipasi dari jumlah penduduknya, tentunya rakyat menjadi faktor penting dalam demokrasi. Walaupun masih banyak orang yang tidak menggunakan hak pilihnya atau bisa disebut golput.
 Fenomena golput ini bisa ada hamper di setiap pemilu dan tentunya hal ini tidak dapat dihindari. Meminjam tulisan Muh. Isnaini, Eep Saefulloh Farah menjelaskan bahwa golput diklasifikasikan atas empat golongan yaitu golput teknis yang berhalangan hadir, golput teknis politik yang biasanya tidak terdaftar oleh diri sendiri atau pihak lain, ketiga golput politis yang merasa tidak punya pilihan yang dapat dipercaya, terakhir ada golput ideologis yakni mereka yang tak percaya pada mekanisme demokrasi (liberal).
Dihampir setiap pemilihan, jumlah golput mengalami kenaikan hingga mencapai 30% dan kemungkinan akan bertambah dari tahun ke tahun. Memang pemilu itu hak setiap warga negaratetapi masih banyak yang enggan melakukannya.
 Golput tidak hanya terjadi dalam pemilu legislative, dalam perhelatan politik ditingkat local seperti pemilihan umum kepala daerah (pilkada) gejala golput juga terjadi. Hasanudin M. Saleh (2007) David moon menyatakan ada dua pendekatan teoritik utama untuk menjelaskan perilaku non-voting yaitu : pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih dan karakteristik intitusional system pemilu dan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak memilih. Pemerintah mengira bahwa setiap tahun akan meningkatnya jumlah partisipasi dan menurunnya golput, namun pada kenyatannya tren golput justru mengalami peningkatan juga.
 Meskipun banyaknya penyuluhan, kampanye, dan lain-lain tetap saja tidak mengurangi jumlah golput di dalam pemilihan umum manapun. Banyak sekali faktor-faktor yang menyebabkan naiknya jumlah golput seperti faktor teknis, kesalahan penyelenggara,dan lain-lain. Selain itu, ada juga yang enggan memilih karena tudak ada yang bisa dipilih atau sebagai bentuk pendekatan politik non-voting dan masih banyak lagi.Â
Oleh karena itulah tingkat jumlah penduduk tidak selalu sama dengan tingkat partisipasi peserta pemilihan umum karena pasti diantaranya ada yang tidak menggunakan haknya atau golput. Dengan tetap adanya pesertabgolput maka jumlah penduduk akan tidak selalu sama dan sebanding dengan jumlah peserta pemilu karena jumlah penduduk dihitung semua tanpa terkecuali sedangakn jumlah peserta pemilu masih dihitung hanya yang mengikutinya saja dan tidak menghitung golput.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H