Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dikenal memiliki keindahan alam yang mampu membuat takjub orang-orang yang mengunjunginya. Sebagai provinsi berbasis kepulauan, NTT tak ubahnya surga bagi para pecinta wisata bahari.
Selain itu, keberagaman suku dan budaya di Bumi Flobamora ternyata menjadi daya tarik tersendiri. Potensi keindahan alam dan keanekaragaman budaya tersebut terbentang dari Labuan Bajo di ujung barat hingga Pulau Alor di ujung timur. Namun, kenyataannya pariwisata di NTT belum memberikan dampak yang signifikan terhadap perekonomian di NTT.
Hal tersebut tercermin dari PDRB NTT di triwulan II tahun 2018 yang masih ditopang oleh sektor pertanian yang menyumbang sekitar 30 persen PDRB NTT ditriwulan II 2018 (sumber : BPS). Sementara itu, sektor yang berhubungan dengan pariwisata seperti penyediaan akomodasi dan makan minum hanya menyumbang tak lebih dari 1 persen.
Dilihat dari struktur APBD, Provinsi NTT terus mengalami defisit pada tahun 2016 dan 2017. Rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD hanya sekitar 21 persen, jauh dibawah rata-rata nasional yang mencapai 24 persen. Ini mengindikasikan bahwa ada potensi yang tidak dimaksimalkan dengan baik, terutama di sektor pariwisata.
Menyadari hal itu, pemerintah pusat dan daerah terus bersinergi untuk mengembangkan pariwisata di NTT. Labuan Bajo dipilih sebagai katrol bagi daerah lain di NTT dengan menetapkannya sebagai kawasan pariwisata prioritas dengan tajuk "Bali Baru".
Bahkan pemerintah membentuk Badan Otoritas Pariwisata (BOP) Labuan Bajo untuk mendongkrak kunjungan wisatawan melalui pengelolaan kawasan yang baik. Tak hanya itu, pemerintah pusat juga mengembangkan Bandara Komodo menjadi bandara bertaraf internasional untuk menstimulus pengembangan pariwisata di Labuan Bajo.
Berbagai proyek strategis tersebut dilakukan karena selama ini pariwisata di NTT masih tergantung pariwisata di Bali. Lalu bagaimana dengan daerah lain yang tidak menjadi prioritas pemerintah pusat? Haruskah bergantung dengan pariwisata di Labuan Bajo?
Masalah klasik yang terus menjadi penghalang majunya sektor pariwisata di NTT adalah pengelolaan yang tidak maksimal. Potensi keindahan alam dan daya tarik wisata lainnya menjadi tidak memberikan dampak yang signifikan bagi perekonomian masyarakat NTT.
Banyak destinasi wisata yang masih diurus secara swadaya oleh masyarakat setempat atau bahkan dibiarkan begitu saja. Atau yang lebih parah adalah diprivatisasi oleh pemilik modal dengan dalih investasi untuk mendongkrak penerimaan daerah.
Promosi gencar yang dilakukan masing-masing pemerintah daerah melalui berbagai event seakan hanya memberikan dampak kemeriahan seremonial semata oleh masyarakat bawah. Selama ini, Dinas Pariwisata daerah seperti kewalahan mengelola begitu banyaknya potensi pariwisata.
Investasi dari pemilik modal seakan menjadi solusi terakhir untuk memaksimalkan sektor pariwisata. Kenyataanya, masyarakat justru tidak menikmati hasil pariwisata secara utuh.
Meskipun seringkali para investor "dibebani" tanggung jawab sosial untuk masyarakat sekitar, model ekonomi kapitalis tersebut dirasa tidak sepenuhnya tepat untuk diterapkan di sebagian wilayah NTT karena kondisi perekonomian masyarakat NTT serta kualitas SDM yang masih tertinggal.
Salah satu solusi yang dapat dilakukan oleh pemerintah provinsi adalah mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk membentuk "lembaga serupa" BOP di masing-masing daerah. Lembaga tersebut juga dapat berbentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) namun dikhususkan menangani sektor pariwisata.
Sudah banyak daerah yang berinisiatif membentuk BUMD pariwisata seperti Kabupaten Bogor, Yogyakarta, Solo, dan Bali untuk mengelola beberapa destinasi pariwisata. Kehadiran BUMD diharapkan mampu memaksimalkan pengelolaan pariwisata secara efektif utamanya agar pariwisata tersebut dapat meningkatkan PAD.
Sudah menjadi rahasia umum, birokrasi di Indonesia menuntut banyak pertanggungjawaban didalamnya. Tak heran, terkadang kehadirannya justru membuat urusan lebih rumit. Dengan adanya BUMD Pariwisata, pengelolaan pariwisata tidak lagi rigid.
Sifat BUMD yang lebih "humanis" terhadap prosedur birokrasi menjadi satu alasan kuat mengapa pengelolaan pariwisata sebaiknya diserahkan ke BUMD.
Selain itu, dibentuknya BUMD pariwisata juga berfungsi sebagai "tameng" masyarakat terhadap kapitalisasi pariwisata di NTT.
Tidak seperti privatisasi pariwisata yang menempatkan masyarakat sebagai beban modal karena harus mengeluarkan tanggung jawab melalui dana sosial, BUMD diharapkan dapat memberdayakan masyarakat agar menjadi partisipan yang aktif bagi pariwisata.
BUMD pariwisata juga harus memperhatikan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dengan memperhatikan potensi setempat, kondisi masyarakat, serta dampak lingkungan sehingga pariwisata dapat memberikan dorongan terhadap kemajuan perekonomian masyarakat.
Lalu bagaimana dengan investasi?
Pengelolaan pariwisata oleh BUMD seharusnya justru memberikan ruang yang lebih mudah bagi para investor untuk menanamkan modalnya. Melalui kepemilikan saham di BUMD Pariwisata, investor dapat berpartisipasi dalam pengelolaan pariwisata di suatu daerah.
Pemerintah daerah semestinya juga harus memiliki road map yang jelas mengenai pengembangan potensi pariwisata dengan adanya pembagian peran yang jelas antara Dinas Pariwisata, BUMD pariwisata, dan para pemilik modal agar kehadiran BUMD pariwisata tidak dipandang menutup pintu segala bentuk privatisasi sektor pariwisata.
Jika pariwisata sudah dikelola dengan baik, maka ungkapan "Masyarakat hidup dari pariwisata" semestinya bukan sebuah retorika.
*Catatan : Artikel ini pernah ditayangkan pada Florespost.co
Sumber : https://www.florespost.co/2018/11/01/mengembangkan-pariwisata-ntt-melalui-bumd/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H