Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguatkan Literasi Lintas Agama dan Budaya: Pilar Kolaborasi dan Keharmonisan Global

27 November 2024   05:00 Diperbarui: 27 November 2024   08:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Era globalisasi yang semakin terkoneksi, tantangan keberagaman menjadi isu yang kian relevan. Dunia yang diwarnai oleh berbagai agama, budaya, dan tradisi memerlukan pendekatan yang inklusif dan dialogis agar dapat menciptakan harmoni. Namun, minimnya pemahaman terhadap perbedaan seringkali memunculkan konflik dan kesalahpahaman. Dalam konteks ini, literasi lintas agama dan budaya menjadi pilar yang sangat penting untuk menguatkan kolaborasi dan menciptakan keharmonisan global.

Literasi lintas agama dan budaya bukan hanya tentang mengenal tradisi atau keyakinan lain, tetapi juga memahami nilai-nilai universal yang menjadi landasan hidup bersama. Hal ini mencakup kemampuan untuk mendengar, memahami, dan menghormati perspektif yang berbeda, sekaligus membangun rasa saling percaya di antara komunitas. Ketika literasi ini diperkuat, masyarakat tidak hanya akan lebih toleran, tetapi juga lebih mampu bekerja sama dalam mengatasi tantangan global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan konflik kemanusiaan.

Pendekatan terhadap literasi lintas agama dan budaya membutuhkan kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk lembaga pendidikan, organisasi keagamaan, dan komunitas lokal. Melalui program pendidikan, dialog antarbudaya, serta inisiatif berbasis komunitas, kita dapat menciptakan ruang untuk saling belajar dan tumbuh. Literasi ini bukan hanya solusi untuk membangun perdamaian, tetapi juga fondasi bagi masa depan dunia yang lebih adil, inklusif, dan harmonis.

Dengan demikian, penguatan literasi lintas agama dan budaya menjadi langkah strategis yang tidak hanya relevan, tetapi juga mendesak. Sebagai pilar utama kolaborasi dan keharmonisan global, literasi ini menawarkan jalan menuju dunia yang lebih saling memahami, menghormati, dan mendukung keberagaman.

Literasi lintas agama dan budaya memainkan peran yang sangat penting dalam menghadapi tantangan global saat ini, terutama dalam mengelola keberagaman. Pemahaman lintas agama dan budaya tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mengurangi konflik, tetapi juga menjadi landasan dalam membangun kolaborasi lintas komunitas untuk tujuan bersama.

Menurut hasil studi oleh UNESCO (2022), literasi lintas budaya memberikan kemampuan kepada individu untuk memahami dan menghormati perbedaan, sekaligus mendorong mereka untuk berkontribusi dalam membangun komunitas yang lebih harmonis. Dalam dunia yang semakin terhubung melalui teknologi dan migrasi, kemampuan untuk menjembatani perbedaan agama dan budaya menjadi prasyarat untuk memecahkan tantangan kolektif seperti ketimpangan sosial, perubahan iklim, dan ekstremisme berbasis identitas. Namun, penguatan literasi ini menghadapi berbagai kendala, terutama resistensi dari kelompok-kelompok yang mengutamakan homogenitas budaya atau agama tertentu. Alfitri (2021) dalam penelitiannya tentang dialog lintas agama di Asia Tenggara menunjukkan bahwa "ketegangan sosial seringkali muncul karena minimnya ruang untuk diskusi yang terbuka dan inklusif, yang akhirnya memperbesar kesalahpahaman antar komunitas." Hal ini menggarisbawahi pentingnya institusi pendidikan dan media sebagai agen transformasi untuk memperkenalkan nilai-nilai pluralisme sejak dini.

Lebih jauh, literasi lintas agama dan budaya tidak hanya sebatas toleransi pasif, tetapi harus diarahkan pada kolaborasi aktif. Sen (2023) menekankan bahwa "hanya dengan menciptakan ruang dialog yang memungkinkan terjalinnya hubungan yang setara, masyarakat dapat melangkah dari toleransi menuju empati, dari sekadar menerima perbedaan menuju merayakannya." Pandangan ini menunjukkan bahwa literasi lintas agama dan budaya tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga memupuk solidaritas global. Dalam konteks kebijakan, negara-negara yang menerapkan strategi pendidikan berbasis keberagaman menunjukkan hasil yang signifikan. Sebagai contoh, Finlandia memperkenalkan kurikulum multikultural yang mengintegrasikan nilai-nilai lintas agama dan budaya, yang menurut laporan OECD (2022), berhasil meningkatkan koherensi sosial hingga 35% dalam satu dekade terakhir.

Namun, penting untuk diingat bahwa literasi lintas agama dan budaya bukan solusi instan. Prosesnya membutuhkan kesadaran, investasi waktu, dan kolaborasi berkelanjutan dari berbagai pemangku kepentingan. Sebagai kesimpulan, literasi ini adalah landasan yang kokoh untuk menciptakan masyarakat global yang tidak hanya memahami perbedaan, tetapi juga bekerja sama untuk tujuan bersama. Seperti yang dikatakan oleh Dervin (2022), "kebersamaan dalam keberagaman bukanlah mimpi utopis, tetapi tujuan yang dapat dicapai melalui literasi lintas agama dan budaya."

Hubungan antara literasi lintas agama dan budaya sebagai pilar kolaborasi dan keharmonisan global dengan Deklarasi Istiqlal yang baru-baru ini menjadi trendik topik pembicaraan umat sedunia adalah terletak pada visi dan tujuan keduanya yang saling melengkapi dalam membangun harmoni di tengah keberagaman. Deklarasi Istiqlal, yang menekankan kolaborasi umat beragama demi nilai-nilai kemanusiaan, memberikan contoh konkret dari penerapan literasi lintas agama dalam membangun kerja sama global. Berikut penulis menjelaskan alur di atas.

Pertama, Kesamaan Nilai-Nilai Dasar, Baik literasi lintas agama maupun Deklarasi Istiqlal berangkat dari prinsip yang sama, yaitu penghormatan terhadap keberagaman, penguatan dialog antarumat beragama, dan pengabdian kepada kemanusiaan. Literasi lintas agama memberikan kerangka konseptual, yaitu pemahaman yang mendalam dan keterampilan untuk memahami perbedaan secara inklusif. Deklarasi Istiqlal, di sisi lain, adalah manifestasi praktisnya, di mana pemahaman ini diwujudkan dalam bentuk kerja sama nyata di antara komunitas beragama. Sebagai contoh, Deklarasi Istiqlal menyerukan "penguatan solidaritas lintas agama dalam mengatasi tantangan global seperti kemiskinan, konflik, dan perubahan iklim," yang merupakan isu-isu global yang membutuhkan pendekatan kolaboratif berbasis literasi lintas budaya.

Kedua, Pilar Kolaborasi dalam Konteks Global. Literasi lintas agama bertujuan membangun kapasitas individu dan komunitas untuk bekerja sama melampaui batas agama dan budaya. Deklarasi Istiqlal menjadi salah satu platform yang menunjukkan bagaimana prinsip-prinsip tersebut diterapkan, dengan menekankan pentingnya tindakan bersama berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Sebagai contoh, inisiatif lintas agama yang terinspirasi oleh Deklarasi Istiqlal, seperti program bantuan kemanusiaan bagi korban konflik atau bencana, menunjukkan bagaimana pemahaman lintas agama diterjemahkan menjadi aksi kolaboratif. Hal ini sejalan dengan gagasan UNESCO (2022) yang menyatakan bahwa "literasi lintas agama adalah alat untuk mengatasi krisis global melalui kolaborasi yang berbasis empati."

Ketiga, Menangkal Polarisasi dan Ekstremisme. Keduanya juga berbagi tujuan untuk melawan polarisasi dan ekstremisme. Literasi lintas agama menyediakan wawasan yang mendalam untuk mengenali dan mengatasi narasi intoleransi. Sementara itu, Deklarasi Istiqlal memperkuat narasi positif melalui seruan kolaborasi, mendorong komunitas beragama untuk berperan aktif dalam menciptakan perdamaian. Seperti yang dijelaskan oleh Sen (2023), "tindakan kolaboratif yang berbasis pemahaman lintas budaya mampu mengubah narasi polarisasi menjadi solidaritas." Deklarasi Istiqlal menjadi salah satu contoh konkret bagaimana kolaborasi lintas agama dapat menggantikan konflik dengan keharmonisan.

Dan Keempat adalah Konteks Indonesia sebagai Model Global. Sebagai dokumen yang dihasilkan di Indonesia, Deklarasi Istiqlal mencerminkan kekayaan tradisi pluralisme bangsa ini. Literasi lintas agama dan budaya menjadi landasan bagi penciptaan kebijakan dan praktik yang mencerminkan semangat gotong-royong dalam keberagaman. Pendekatan ini dapat menjadi model global, sebagaimana disoroti oleh OECD (2022) tentang keberhasilan Indonesia dalam mempromosikan dialog lintas agama melalui program pendidikan dan kebijakan multikultural. Karena deklarasi Istiqlal adalah perwujudan nyata dari literasi lintas agama dan budaya sebagai pilar kolaborasi dan keharmonisan global. Literasi ini memberikan dasar pemahaman dan keterampilan untuk menjalin dialog, sedangkan Deklarasi Istiqlal menunjukkan bagaimana dialog tersebut dapat ditransformasikan menjadi tindakan bersama. Keduanya saling memperkuat dalam menciptakan dunia yang lebih damai, adil, dan inklusif. Dalam konteks ini, Deklarasi Istiqlal tidak hanya relevan sebagai inspirasi lokal, tetapi juga sebagai model global tentang bagaimana literasi lintas agama dan budaya dapat diwujudkan melalui aksi nyata untuk kebaikan bersama umat manusia.

Literasi lintas agama dan budaya bukan sekadar konsep teoretis, ia harus diwujudkan dalam aksi nyata yang berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan global. Dalam konteks kekinian, di mana dunia menghadapi tantangan besar seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik berbasis identitas, literasi lintas agama dan budaya berperan sebagai fondasi untuk kerja sama lintas komunitas demi kebaikan bersama.

Aksi nyata literasi lintas agama terlihat dalam respons terhadap krisis kemanusiaan global, seperti konflik di Timur Tengah, bencana alam, atau pengungsi akibat perang. Sebagai contoh, Humanitarian Interfaith Alliance menunjukkan bagaimana pemahaman lintas agama dapat menggerakkan komunitas beragam untuk menyediakan bantuan tanpa memandang latar belakang keyakinan. Sen (2023) mencatat, "Kolaborasi berbasis literasi lintas agama memungkinkan individu dan organisasi untuk melampaui perbedaan identitas demi memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti kasih sayang dan keadilan." Program seperti ini menunjukkan bagaimana literasi lintas agama bukan hanya meningkatkan toleransi, tetapi juga menciptakan dampak nyata yang menyelamatkan nyawa.

Literasi lintas agama dan budaya dapat diwujudkan melalui kurikulum pendidikan yang menanamkan nilai pluralisme sejak dini. Finlandia dan Kanada, misalnya, telah mengintegrasikan program pendidikan lintas budaya yang menekankan dialog, pemahaman, dan empati dalam kurikulum nasional mereka. Menurut laporan UNESCO (2022), "Negara yang memprioritaskan pendidikan lintas budaya menunjukkan peningkatan dalam kohesi sosial dan penurunan kasus diskriminasi." Hal ini menjadi bukti bahwa aksi nyata literasi lintas agama tidak hanya terjadi di tingkat komunitas, tetapi juga dalam pembentukan kebijakan pendidikan.

Era digital menawarkan peluang besar untuk mempromosikan literasi lintas agama dan budaya melalui media sosial, webinar, atau platform berbasis teknologi. Program seperti Coexist Online Dialogue telah berhasil mempertemukan ribuan individu dari berbagai latar belakang untuk berdiskusi tentang isu global, seperti perubahan iklim dan keadilan sosial. Dervin (2022) menyoroti, "Teknologi menjadi alat transformasi dalam literasi lintas budaya, memungkinkan dialog lintas batas geografis dan menciptakan ruang yang inklusif untuk berbagi pengalaman." Melalui inovasi ini, aksi nyata literasi lintas agama dapat diakses secara global.

Tantangan global seperti perubahan iklim memerlukan respons lintas agama. Inisiatif seperti Faiths for Earth yang didukung oleh Program Lingkungan PBB menunjukkan bagaimana komunitas beragama dapat bekerja sama dalam kampanye pelestarian lingkungan. Sebagai contoh, Deklarasi Interfaith tentang Lingkungan Hidup pada 2021 menyerukan umat beragama untuk "menjadikan bumi sebagai rumah bersama yang dilindungi oleh semua keyakinan." Aksi nyata ini menunjukkan bahwa literasi lintas agama dapat menjadi alat untuk menggalang solidaritas dalam menghadapi ancaman ekologis. Meskipun literasi lintas agama dan budaya memiliki potensi besar, tantangannya meliputi resistensi dari kelompok ekstremis, minimnya akses pendidikan di beberapa wilayah, serta penggunaan agama untuk justifikasi konflik. Namun, strategi seperti memperluas dialog lintas agama, memperkuat institusi pendidikan, dan memanfaatkan teknologi dapat menjadi solusi yang efektif.

Oleh karena itu literasi lintas agama dan budaya menjadi lebih dari sekadar teori ketika diwujudkan dalam aksi nyata yang melibatkan kerja sama lintas komunitas, penguatan pendidikan, penggunaan teknologi, dan respons terhadap tantangan global. Sebagaimana dirangkum oleh Alfitri (2021), "Aksi nyata berbasis literasi lintas agama adalah jalan menuju dunia yang lebih adil, di mana perbedaan dirayakan sebagai kekuatan, bukan sumber konflik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun