Mohon tunggu...
Muhammad Isnaini
Muhammad Isnaini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguatkan Literasi Lintas Agama dan Budaya: Pilar Kolaborasi dan Keharmonisan Global

27 November 2024   05:00 Diperbarui: 27 November 2024   08:33 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ketiga, Menangkal Polarisasi dan Ekstremisme. Keduanya juga berbagi tujuan untuk melawan polarisasi dan ekstremisme. Literasi lintas agama menyediakan wawasan yang mendalam untuk mengenali dan mengatasi narasi intoleransi. Sementara itu, Deklarasi Istiqlal memperkuat narasi positif melalui seruan kolaborasi, mendorong komunitas beragama untuk berperan aktif dalam menciptakan perdamaian. Seperti yang dijelaskan oleh Sen (2023), "tindakan kolaboratif yang berbasis pemahaman lintas budaya mampu mengubah narasi polarisasi menjadi solidaritas." Deklarasi Istiqlal menjadi salah satu contoh konkret bagaimana kolaborasi lintas agama dapat menggantikan konflik dengan keharmonisan.

Dan Keempat adalah Konteks Indonesia sebagai Model Global. Sebagai dokumen yang dihasilkan di Indonesia, Deklarasi Istiqlal mencerminkan kekayaan tradisi pluralisme bangsa ini. Literasi lintas agama dan budaya menjadi landasan bagi penciptaan kebijakan dan praktik yang mencerminkan semangat gotong-royong dalam keberagaman. Pendekatan ini dapat menjadi model global, sebagaimana disoroti oleh OECD (2022) tentang keberhasilan Indonesia dalam mempromosikan dialog lintas agama melalui program pendidikan dan kebijakan multikultural. Karena deklarasi Istiqlal adalah perwujudan nyata dari literasi lintas agama dan budaya sebagai pilar kolaborasi dan keharmonisan global. Literasi ini memberikan dasar pemahaman dan keterampilan untuk menjalin dialog, sedangkan Deklarasi Istiqlal menunjukkan bagaimana dialog tersebut dapat ditransformasikan menjadi tindakan bersama. Keduanya saling memperkuat dalam menciptakan dunia yang lebih damai, adil, dan inklusif. Dalam konteks ini, Deklarasi Istiqlal tidak hanya relevan sebagai inspirasi lokal, tetapi juga sebagai model global tentang bagaimana literasi lintas agama dan budaya dapat diwujudkan melalui aksi nyata untuk kebaikan bersama umat manusia.

Literasi lintas agama dan budaya bukan sekadar konsep teoretis, ia harus diwujudkan dalam aksi nyata yang berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, dan lingkungan global. Dalam konteks kekinian, di mana dunia menghadapi tantangan besar seperti perubahan iklim, ketimpangan ekonomi, dan konflik berbasis identitas, literasi lintas agama dan budaya berperan sebagai fondasi untuk kerja sama lintas komunitas demi kebaikan bersama.

Aksi nyata literasi lintas agama terlihat dalam respons terhadap krisis kemanusiaan global, seperti konflik di Timur Tengah, bencana alam, atau pengungsi akibat perang. Sebagai contoh, Humanitarian Interfaith Alliance menunjukkan bagaimana pemahaman lintas agama dapat menggerakkan komunitas beragam untuk menyediakan bantuan tanpa memandang latar belakang keyakinan. Sen (2023) mencatat, "Kolaborasi berbasis literasi lintas agama memungkinkan individu dan organisasi untuk melampaui perbedaan identitas demi memprioritaskan nilai-nilai kemanusiaan universal seperti kasih sayang dan keadilan." Program seperti ini menunjukkan bagaimana literasi lintas agama bukan hanya meningkatkan toleransi, tetapi juga menciptakan dampak nyata yang menyelamatkan nyawa.

Literasi lintas agama dan budaya dapat diwujudkan melalui kurikulum pendidikan yang menanamkan nilai pluralisme sejak dini. Finlandia dan Kanada, misalnya, telah mengintegrasikan program pendidikan lintas budaya yang menekankan dialog, pemahaman, dan empati dalam kurikulum nasional mereka. Menurut laporan UNESCO (2022), "Negara yang memprioritaskan pendidikan lintas budaya menunjukkan peningkatan dalam kohesi sosial dan penurunan kasus diskriminasi." Hal ini menjadi bukti bahwa aksi nyata literasi lintas agama tidak hanya terjadi di tingkat komunitas, tetapi juga dalam pembentukan kebijakan pendidikan.

Era digital menawarkan peluang besar untuk mempromosikan literasi lintas agama dan budaya melalui media sosial, webinar, atau platform berbasis teknologi. Program seperti Coexist Online Dialogue telah berhasil mempertemukan ribuan individu dari berbagai latar belakang untuk berdiskusi tentang isu global, seperti perubahan iklim dan keadilan sosial. Dervin (2022) menyoroti, "Teknologi menjadi alat transformasi dalam literasi lintas budaya, memungkinkan dialog lintas batas geografis dan menciptakan ruang yang inklusif untuk berbagi pengalaman." Melalui inovasi ini, aksi nyata literasi lintas agama dapat diakses secara global.

Tantangan global seperti perubahan iklim memerlukan respons lintas agama. Inisiatif seperti Faiths for Earth yang didukung oleh Program Lingkungan PBB menunjukkan bagaimana komunitas beragama dapat bekerja sama dalam kampanye pelestarian lingkungan. Sebagai contoh, Deklarasi Interfaith tentang Lingkungan Hidup pada 2021 menyerukan umat beragama untuk "menjadikan bumi sebagai rumah bersama yang dilindungi oleh semua keyakinan." Aksi nyata ini menunjukkan bahwa literasi lintas agama dapat menjadi alat untuk menggalang solidaritas dalam menghadapi ancaman ekologis. Meskipun literasi lintas agama dan budaya memiliki potensi besar, tantangannya meliputi resistensi dari kelompok ekstremis, minimnya akses pendidikan di beberapa wilayah, serta penggunaan agama untuk justifikasi konflik. Namun, strategi seperti memperluas dialog lintas agama, memperkuat institusi pendidikan, dan memanfaatkan teknologi dapat menjadi solusi yang efektif.

Oleh karena itu literasi lintas agama dan budaya menjadi lebih dari sekadar teori ketika diwujudkan dalam aksi nyata yang melibatkan kerja sama lintas komunitas, penguatan pendidikan, penggunaan teknologi, dan respons terhadap tantangan global. Sebagaimana dirangkum oleh Alfitri (2021), "Aksi nyata berbasis literasi lintas agama adalah jalan menuju dunia yang lebih adil, di mana perbedaan dirayakan sebagai kekuatan, bukan sumber konflik."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun