World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa kesehatan mental adalah bagian dari hak asasi manusia. Seseorang harus terbebas dari masalah mental sehingga dapat memperoleh kesejahteraan hidup. Orang yang memiliki kesehatan mental baik akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan beradaptasi secara wajar tanpa merugikan diri sendiri dan lingkungannya. Sebaliknya, seseorang yang kondisi mentalnya tidak baik seperti stress dan depresi akan kesulitan beradaptasi di lingkungan sosial serta sering merasa dirinya tidak bahagia (Ariadi, 2013).
Gangguan kesehatan mental dapat berdampak kepada kesejahteraan ekonomi. Orang dengan gangguan kesehatan mental seperti stress dan depresi sering mengalami penurunan produktivitas dalam belajar atau bekerja. Pengidap gangguan akan terdorong untuk absen atau tidak melakukan tugas dan fungsi dengan baik. Lalu, untuk menyembuhkan gangguan tersebut seseorang harus mengeluarkan biaya perawatan kesehatan. Gangguan kesehatan mental juga berpengaruh negatif terhadap kesejahteraan ekonomi nasional. Penurunan produktivitas dapat menyebabkan kerugian pada Produk Domestik Bruto (PDB) seperti Australia yang pernah mencatatkan kerugian hingga US$ 27 triliun tahun 2019 akibat absensi atau hadir tetapi tidak melakukan tugas dan fungsi dengan baik.
Menyelesaikan masalah kesehatan mental di Indonesia masih penuh dengan tantangan. Pertama, masyarakat memberikan label negatif terhadap pengidap gangguan kesehatan mental sehingga pengidap dikucilkan dari orang-orang sekitarnya. Pengidap kesehatan mental yang pada dasarnya merasa malu untuk menceritakan masalahnya karena merasa dirinya berbeda menjadi semakin bungkam dan tidak mau berkonsultasi kepada ahlinya.
Kedua, literasi mengenai kesehatan mental masih kurang sehingga terjadi salah penanganan terhadap penderita kesehatan mental. Ketiga, gangguan kesehatan mental masih menjadi hal tabu di sebagian tempat karena senantiasa dikaitkan dengan hal-hal supranatural dan takhayul. Stigma ini membuat pengidap merasa bahwa penyakitnya adalah aib sehingga semakin bungkam dan tidak mau berkonsultasi kepada ahlinya.
Keempat, pengidap kerap mendapat perlakuan kasar, penghinaan, maupun perundungan akibat gangguan yang dialaminya. Tidak jarang pula ditemukan kasus dimana pengidap dijauhi keluarganya sendiri. Dalam masalah ini, seharusnya keluarga melakukan fungsi afeksinya. Terakhir, kurangnya keterjangkauan terhadap fasilitas kesehatan mental. Hal ini dapat dilihat dari minimnya kapasitas rumah sakit jiwa, bangsal psikiatri di rumah sakit, dan minimnya psikiater di Indonesia. Berdasarkan data Kemenkes, jumlah psikiater di Indonesia hanya 1.053 orang yang berarti 1 psikiater melayani 250 ribu penduduk.
Referensi:
https://jurnal.um-palembang.ac.id/syifamedika/article/view/1433/1183