Mohon tunggu...
Muhammad Ridhotullah
Muhammad Ridhotullah Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Belajar dari jejak!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan Merdeka

30 Oktober 2023   22:22 Diperbarui: 30 Oktober 2023   22:29 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertagai masyarakar di Indonesia berada pada taraf transisi dan juga dalam proses modernisasi, mulai dari nilai tradisional dan budaya mash merupakan permasalahan yang belum terselesaikan, dan diberbagai masyarakat pada taraf ini terasa seakan-akan amat sulit dapat diselesaikan. Masyarakat tradisional yang menjadi bahan perdebatan dan konflik kedudukan hak-hak wanita, baik ditengah masyarakat, maupun dalam hubungan langsung antara lelaki dan perempuan secara sosial. Suatu hal yang hingga saat ini menjadi budaya di Indonesia adalah stigma bahwa perempuan hanya bisa menjadi golongan yang bertanggung jawab untuk mengurusi rumah tangga dan tanggung jawab untuk mencari nafkah dilimpahkan kepada pihak laki-laki.

Sebuah contoh wanita hanya dipekerjakan untuk mengurus rumah dan anak, seakan-akan wanita tidak bisa melakukan apa yang mereka inginkan, mereka hanya menuruti perintah dari lelaki, kasarnya dalam rumah tangga perempuan hanya dijadikan sebagai budak atau pelengkap urusan laki-laki. Kita sering mendengar kebanyakan masyarakat Indonesia menggap masa depan dari seorang wanita hanyalah bekerja didapur tak lebih dari itu. Bagi saya, kenyataan ini menunjukkan bahwa perempuan di Indonesia masih harus memperjuangkan haknya, sebelum benar-benar menjadi oknum mandiri bersama lelaki di dalam masyarakat.

Dalam metode Karl Marx, penindasan terhadap perempuan mengarah pada sebuah variasi dari fenomena yang muncul seperti Psikologi, Ekonomi, Sosial dan Politik yang mempengaruhi kehidupan perempuan. Contoh konkrit penindasan terhadap perempuan
dapat kita temui dari kasus pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga dan pelecehan seksual dalam rumah tangga. Selain itu, pada tataran pekerjaan penindasan terhadap perempuan dapat berupa pemberian upah yang rendah, diskriminasi pendidikan dan lembaga pekerjaan, pembagian kerja secara seksual, isu-isu reproduksi dan perjuangan untuk menentukan nasib sendiri.

Perjuangan dan gerakan perempuan tidak serta-merta selesai hanya dengan munculnya berbagai kebijakan dan peraturan yang mengakomodasi ke tidakadilan gender. Sebab masih ada beberapa orang atau sekelompok yang melakukan kontrol dan pembatasan terhadap perempuan. Di Indonesia tau kalangan masyarakat patriarki, perempuan ditempatkan sebagai hak milik ayah dan saudara laki-lakinya.

perempuan dalam kekuasaan ayah dan saudara laki-laki memberi keleluasaan kepada sang pemilik untuk mendominasi dan mengatur semua urusan dan kehidupan perempuan. Sebab hal ini masih banyak yang terjadi di Indonesia khususnya dibagian Indonesia timur tepatnya di Sulawesi Selatan, banyak kasus anak perempuan yang dikawinkan atau dijodohkan diusia yang sangat muda hanya menjadi istri kedua atau untuk meringankan beban orang tua. Karena relasi kuasa yang terjadi, perempuan rentan menjadi korban kekerasan seksual dari suaminya. Pada banyak kasus, pihak yang melamar seorang perempuan akan mencari ayah dari anak perempuan bersangkutan. Sekalipun si ayah tidak pernah mengasuh atau memelihara anak perempuannya, dia tetap menjadi penentu nasib ananya. Ayah tetap menguasai anak perempuannya, termasuk menentukan siapa yang akan menjadi suaminya.

Kemiskinan selalu menjadi alasan orang tua mengawinkan anak perempuannya pada usia muda. Dengan mengawinkan anak perempuannya maka tanggung jawab terhadap anak berakhir dan pindah menjadi tanggung jawab suaminya. Sayangnya perkawinan anak tidak menjadi sebuah harapan baru yang membanggakan, minimal keluar dari kemiskinan. Akan tetapi bukannya keluar dari kemiskinan,perkawinan anak justru melahirkan keluarga miskin baru. Perkawinan anak menutup berbagai potensi dan masa depan anak. Anak yang dikawinkan akan putus sekolah dan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan potensi dan kreativitasnya, sebab harus mengurus rumah tangga.

Setelah kawin, beban anak perempuan juga bertambah semakin berat, sebab harus melahirkan dan mengasuh anak diusia yang sangat muda. Melalui pranata perkawinan, para lelaki ini juga memindahkan tanggung jawab dan kekuasaannya kepada laki-laki yang lain. Perkawinan anak berada dalam lingkaran seperti ini, di mana kekuasaan dan tanggung jawab diserahkan kepada laki-laki lain pihak yang bisa membeli, apalagi dengan biaya yang lebih tinggi. Bukannya hal demikian sama halnya dengan perbudakan terhadap perempuan. Oleh sebab itu, menghentikan perkawinan anak adalah jalan untuk memberikan hak- hak dan kesempatan kepada anak untuk mengembangkan potensinya, yang akhirnya akan melahirkan generasi kuat dan berkualitas. Karenanya, stop perkawinan anak, pelaminan bukan taman bermain buat anak.

Contoh dari relasi yang tidak seimbang ialah, ketika seorang perempuan muda yang menikah akan melahirkan anak dengan jarak yang berdekatan, sehingga membuat pengasuh anak kesulitan ditambah dari pengetahuan perempuan dan keterampilan yang rendah dalam mengasuh anak sehingga generasi yang lahir dari perkawinan anak bisa jadi generasi yang tidak berkualitas. Ketika rumah tangga perempuan yang menikah muda berujung pada perceraian, maka akan muncul permasalahan lanjutan yang mana perempuan muda dengan pendidikan rendah terpaksa untuk menghidupi anaknya dengan menjadi pekerja informal yang memiliki resiko tinggi.

Pekerjaan informal yang seringkali dilakukan oleh perempuan ditanah air dapat berupa buruh rumahan, pekerja dengan upah yang murah dan tak jarang juga menjadi tenaga kerja wanita yang dikirimkan ke luar negeri karena sedikitnya lahan pekeriaan di tanah air. Kesetaraan gender dapat dicapai bersamaan dengan berakhirnya kemiskinan dan kelaparan, karena perempuan merupakan jenis kelamin terbanyak yang menanggung kemiskinan dan kelaparan. Kesetaraan gender dan keberdayaan perem-puan dipercaya mengakhiri kemiskinan perempuan. Karena kemiskinan perempuan, diantaranya lahir dari budaya patriaki yang membatasi partisipasi perempuan dalam kehidupan publik atau sosial. Perempuan tidak mempunyai akses yang sama dengan laki-laki dalam berbagai sektor kehidupan, padahal tidak sedikit perempuan menjadi tulang punggung keluarga, termasuk menjadi kepala keluarga.
Untuk menjadikan perempuan berdaya dan merdeka pemerintah wajib memperlakukan setiap warga negara apa pun latar belakangnya dengan equal concern dan equal respect (Bahagijo, 2016). Karenanya tujuan dan target kesetaraan gender menjadi penting dalam kerangka penghormatan dan perlindungan hak-hak perempuan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun