Oleh: Muhammad Faizin dan Titi Laras Sekar Utami
Pembimbing: Sri Isnani S.Ag.,M.Hum.
Dugderan merupakan tradisi atau budaya  perayaan menyambut bulan Ramadan yang dilaksanakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Semarang, Jawa Tengah. Tradisi atau upacara ini mencerminkan perpaduan 3 etnis di Semarang, yakni Arab, Jawa, dan Tionghoa. Istilah Dugderan diambil dari kata "Dug", bunyi bedug yang ditabuh dan "Der", bunyi kembang api yang ledakan di langit. Bunyi "Dug" dan "Der" menjadi penanda bahwa akan datang bulan Ramadan.
Tradisi ini sudah dilaksanakan sejak 1881 M yang kala itu Semarang dipimpin oleh Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Dilatar belakangi perbedaan umat Islam saat itu dalam menentukan hari dimulainya puasa Ramadan, Beliau memberanikan diri untuk menentukan waktu dimulainya puasa Ramadan dengan membunyikan bedug di Masjid Agung Kauman dan meriam di halaman kabupaten yang masing-masing dibunyikan sebanyak tiga kali.Â
Kemudian dilanjutkan dengan pengumuman awal puasa di masjid. Sejak itulah umat Islam di Semarang tidak lagi berbeda pendapat dan menjadikan hal tersebut sebagai budaya lokal setempat.
Dalam buku 70 Tradisi Unik Suku Bangsa di Indonesia karya Fitri Haryani menceritakan bahwa perayaan tradisi Dugderan dimulai dengan pemukulan bedug dan ditutup dengan perayaan letusan mercon dan kembang api. Hal tersebut bukan asal dilakukan tanpa sebab, pemukulan bedug memiliki makna sebagai tanda memasuki bulan suci Ramadan. Sementara itu, letusan mercon dan kembang api dimaknasi sebagai kebahagian yang akan datang di akhir bulan puasa dan datangnya Idul Fitri.
Dalam artikel berjudul Sejarah Dugderan Menyambut Bulan Ramadan di Kota Semarang yang dimuat Gayamsari Semarang Kota, menyebutkan bahwa biasanya waktu pelaksanaan Dugderan dimulai sejak pukul 08.00 pagi hingga Magrib yang diawali dengan penggelaran pasar kaget atau pasar rakyat dan dilanjutkan dengan karnaval, seperti Acara Warak Ngendok yang diikuti oleh arak-arakan mobil.Â
Dengan banyaknya pedagang yang menjajakan dagangan yang beraneka ragam seperti, jajanan, makanan, minuman, serta mainan anak-anak, seperti suling dan gangsing mengakibatkan antusias dan rasa ketertarikan bagi warga Semarang.
Mungkin istilah Warak Ngendok terdengar asing bagi masyarakat selain Semarang. Dilansir dari video YouTube Aziz Jajar berjudul Cerita Asal Usul Warak Ngendhok Semarang, bagi mayoritas warga kota Semarang, sosok Warak Ngendok hanya dikenal sebagai mainan berukuran raksasa yang kerap diarak keliling jalan raya di setiap bulan Sya'ban dalam penanggalan Jawa atau jelang perayaan Dugderan di Pasar Johar yang ada di jantung kota lumpia itu. Namun, tak banyak yang tahu bahwa Warak Ngendok sebenarnya dikenal sebagai hewan mitologi yang sakti oleh warga Semarang.
Dalam buku 100 Tradisi Unik Indonesia karya Fatiharifah, Warak Ngendok merupakan binatang rekaan bertubuh kambing pada bagian kaki dengan kepala naga yang bersisik dan terbuat dari kertas warna-warni.Â
Binatang ini juga dilengkapi dengan telur rebus yang disebut sebagai endog. Warak Ngendok berasal dari dua kata, yakni warok yang berasal dari bahasa Arab, yaitu waro'i yang berarti suci dan ngendhok dari bahasa Jawa yang artinya bertelur. Dari dua kata tersebut dapat diartikan bahwa siapa saja yang menjaga kesucian di bulan Ramadan, kelak di akhir bulan akan mendapatkan pahala di hari Idul Fitri.
Warak Ngendok memperlihatkan adanya perpaduan kultur Arab Islam, Jawa, dan Tionghoa sehingga memperlihatkan adanya bhineka tunggal ika atau persatuan yang harmonis antar etnis yang menciptakan kontak budaya yang lebih intensif sehingga memungkinkan terjadinya proses akulturasi. Konon menurut cerita warga, Warak Ngendok sudah hadir  sejak awal mula pendirian kota Semarang, sampai saat ini belum tau sejak kapan tepatnya mitologi ini ada, bahkan saat Ki Ageng Pandanaran mendirikan kota Semarang dan menjadi Bupati pertama kali, hewan mitologi ini sudah hadir di tengah masyarakat.
Menurut Wikipedia, Ki Ageng Pandanaran sendiri dikenal sebagai Raden Pandanaran, beliau putra dari Pangeran Suryo Panembahan Sabrang Lor, Sultan kedua Kesultanan Demak. Raden Pandanaran menolak tahta Demak karena lebih suka mendalami spiritualitas.Â
Pendapat lain mengatakan bahwa beliau merupakan saudagar asing asal Arab, Turki, atau Persia yang meminta izin sultan Demak untuk berdagang dan menyebarkan Islam di daerah Pragota. Beliau menyiarkan agama Islam dengan memadukan unsur kebudayaan lokal untuk pertama kali kepada warga Semarang kuno kala itu. Dan sejak itu, Warak Ngendok terus dijadikan salah satu maskot kota Semarang.
Kembali ke Dugderan, meski tahun ini Dugderan diguyur hujan, tidak mengakibatkan sepinya antusias warga Semarang. Prosesi kirab Dudgeran tetap berlangsung meriah dan semarak. Dilansir website Pemerintah Kota Semarang, pada Sabtu, 9 Maret 2024 antusias masyarakat masih tinggi, dengan berbondong-bondong menyambut rombongan kirab dari Balai Kota Semarang menuju Masjid Kauman dan Alun-alun Semarang.
Tidak hanya warga asli Semarang yang menikmati acara ini, wisatawan maupun mahasiswa dari berbagai daerah yang menempuh pendidikan di Semarang pun merasakan keseruan dari acara ini. Seperti beberapa mahasiswa prodi Matematika angkatan 2022 di UIN Walisongo, tepatnya kelas MAT-4A yang menghadiri perayaan Dugderan pada Kamis, 7 Maret 2024 yang dilaksanakan di Pasar Johar.
Menurut Prima, salah satu Mahasiswa MAT-4A "Dugderan kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya yang biasanya disertai dengan wahana, akan tetapi antusias masyarakat sekitar masih tinggi karena sudah menjadi budaya sebelum datangnya bulan Ramadan". "Ini kali pertamaku datang ke Dugderan, rasanya seru banget dugderan sama teman sekelas. Semoga tahun depan bisa ikut dugderan lagi" ungkap Maya, pengunjung Dugderan dari MAT-4A.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H