Mohon tunggu...
Lukasyah
Lukasyah Mohon Tunggu... Freelancer - Catatan Sebelum Mati

Not Lucky Bastard

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Utopia Visi Indonesia Emas 2045, Wajah Pendidikan Tak Berkarakter

23 Mei 2024   10:39 Diperbarui: 23 Mei 2024   10:45 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam perjalanan sejarah, pepatah-papatah dari para pemimpin besar sering kali tidak hanya mencerminkan semangat juang, tetapi juga menyiratkan harapan dan cita-cita yang mendalam. Salah satunya adalah kutipan yang terkenal dari Ir. Soekarno, "Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia." Pepatah ini, jauh dari sekadar slogan kosong, mengandung makna mendalam tentang peran vital pemuda dalam membentuk masa depan sebuah bangsa.

Pemuda, dalam konteks ini, bukanlah sekadar segumpal generasi yang terpaku pada masa mudanya. Mereka adalah agen perubahan yang mampu mengguncang fondasi dunia dengan gagasan dan tindakan mereka. Pepatah tersebut adalah panggilan bagi mereka untuk mengambil peran aktif dalam mengubah dunia menuju ke arah yang lebih baik. Tidaklah mengherankan jika pepatah ini menembus zaman dan tetap relevan hingga saat ini. Pemuda bukanlah sekadar masa, tetapi merupakan kekuatan yang mampu membawa perubahan yang substansial. Mereka adalah pembawa harapan, cita-cita, dan kenyataan bagi suatu bangsa. Perlu dicatat bahwa harapan dan cita-cita ini tidak berdiri sendiri; mereka tercermin dalam tindakan nyata pemuda. Dalam sejarah, banyak contoh pemuda yang mampu menginspirasi dan membawa perubahan signifikan dalam masyarakat mereka. Mereka adalah motor penggerak di balik revolusi, inovasi, dan perubahan sosial yang telah membentuk dunia kita.

Oke, kita sudah romantismenya, kita beranjak kepada realitas yang akan dihadapi di Indonesia. Indonesia, sebuah negara yang kaya akan potensi alam dan manusianya, telah mengalami perjalanan yang panjang sejak merdeka pada tahun 1945. Selama hampir delapan dekade ini, Indonesia telah menjadi bagian dari negara berkembang, menghadapi berbagai tantangan dan perubahan yang mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhannya.

Namun, saat ini, semangat untuk beranjak menuju tingkat yang lebih tinggi, untuk menjadi negara maju, semakin berkobar di kalangan pemimpin dan rakyat Indonesia. Visi besar "Indonesia Emas 2045" menjadi landasan bagi mimpi besar ini. Pada momen satu abad sejak kemerdekaan, Indonesia bertekad untuk menjadi negara Nusantara yang berdaulat, maju, dan berkelanjutan.

Meski demikian, visi besar ini memunculkan polemik. Setidaknya ada dua pandangan yang bisa ajukan. Pada pandangan pertama, visi ini mungkin terdengar sangat ambisius. Dengan komitmen yang kuat, kepemimpinan yang bijak, dan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat, mimpi ini dapat menjadi kenyataan. Sikap ambisius dan optimis ini bukan tanpa alasan karna secara kuantitas, Indonesia sudah memiliki modal besar, yaitu bonus demografi. Menurut data yang dilansir dari indonesiabaik.id[1], pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045. Dalam konteks ini, pemuda dalam hal ini, pelajar usia 14 -- 17 tahun memiliki peran yang sangat vital. Produktifitas mereka nantinya akan menjadi tulang punggung pembangunan dan kemajuan negara menuju visi Indonesia Emas 2045. Dengan energi, kreativitas, dan semangat juangnya, pemuda memiliki potensi besar untuk membawa perubahan yang signifikan dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.

Namun, di sisi lain, pada pandangan kedua, visi ini terdengar seperti impian yang sulit untuk dicapai. Visi ini cenderung memunculkan pandangan yang skeptis, menganggap visi ini sebagai utopia, mimpi yang tidak akan pernah tercapai. Hal ini bukan tanpa alasan mengingat realitas hari ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi para pelajar tidaklah sedikit.

Jika melihat kondisi saat ini, visi Indonesia Emas 2045 terkadang terasa seperti "jauh panggang dari pada api". Berbagai masalah yang menimpa pemuda, terutama mereka yang masih berstatus sebagai pelajar, terus meningkat dan menjadi hambatan yang signifikan dalam mencapai tujuan tersebut. Salah satu masalah utama yang akhir-akhir ini menjadi sorota adalah perihal tawuran antar pelajar.

Sebagai gambaran, akhir-akhir ini sering ditemukan kasus tawuran yang melibatkan para pelajar. Melansir dari laman berita beritasatu, sepanjang tahun 2023, Polres Tangerang Kota menyatakan bahwa kasus tawuran di wilayah hukumnnya meningkat sebesar 36 persen, yaitu meningkat dari 14 kasus menjadi 19 kasus. Dari kejadian ini, terdapat korban dunia sebanyak empat pelajar, dan korban luka-luka menjadi 19 korban.

Kemudian, melansir dari berita radarbogor.id, sepanjang 1 Januari 2024 hingga 6 Februari 2024, telah terjadi tawuran pelajar sebanyak 11 kali. Tawuran ini melibatkan para pelajar di wilayah hukum kota dan kabupaten Bogor.  Kondisi ini tentu mengkhawatirkan, mengingat para pelaku tawuran adalah para pelajar yang notabene adalah calon harapan bangsa yang akan berperan penting dalam visi Indonesia Emas. 

Dari kasus ini, menarik untuk ditelisik penyebab dari adanya kasus tawuran yang dilakukan oleh kalangan pelajar ini. Melansir dari laman Republika.co.id, Wakil Ketua MPR RI Hajriyanto Y Thohari menilai bahwa penyebab utama terjadinya tawuran dikalangan pelajar adalah kurangnya pendidikan karakter dalam kurikulum pendidikan nasional. Pernyataan ini layak diamini mengingat pendidikan karakter adalah unsur penting yang harus diajarkan kepada para pelajar. Menurut Curriculum Corporation (2003:33), pendidikan karakter adalah pendidikan yang secara eksplisit mengajarkan nilai-nilai untuk membantu siswa mengembangkan disposisi-disposisi guna bertindak dengan cara-cara yang pasti. 

Pendidikan karakter yang terintegrasi dalam kurikulum pendidikan nasional akan memberikan landasan yang kuat bagi para pelajar untuk memahami nilai-nilai moral, etika, dan kepemimpinan yang akan membentuk mereka menjadi individu yang bertanggung jawab dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Ketika pendidikan karakter diabaikan, pelajar akan kehilangan arah dalam memahami nilai-nilai yang seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun