Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Bintang Agustya
Muhammad Yusuf Bintang Agustya Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Belajar sepanjang zaman

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Minimnya Literasi Masyarakat Indonesia Dalam Menanggapi Kasus Kekerasan Seksual

21 November 2023   13:08 Diperbarui: 21 November 2023   13:21 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada tanggal 9 November lalu, masyarakat dikejutkan dengan unggahan yang ada di akun X @UNYmfs. Unggahan tersebut menunjukkan bahwa ada seorang mahasiswa baru yang mengaku telah dilecehkan oleh kakak tingkatnya. “Korban” membeberkan bahwa kakak tingkat yang melecehkan dirinya adalah seorang mahasiswa FMIPA UNY dan dia juga merupakan fungsionaris BEM FMIPA UNY. Tak hanya itu, pengirim menfess juga menunjukkan NIM “pelaku” yang melecehkan dirinya. Setelah ditelusuri, “pelaku” yang dimaksud adalah MF.

Informasi yang ada direspon secara brutal oleh masyarakat yang sangat marah terhadap adanya kasus kekerasan seksual ini. Sasaran amarah masyarakat tertuju pada MF, BEM FMIPA, dan BEM KM UNY. MF sudah pasti diamuk karena dia dianggap sebagai “pelaku” kekerasan seksual tersebut. Dia dikutuk dengan kata dan kalimat yang sangat menyakitkan, identitas pribadinya dan keluarganya di-doxing dan telah disebar kemana-mana. Selain itu, ada yang mendatangi kostnya untuk menghajarnya secara langsung. Tak berhenti di situ, ada pula yang menyebarkan foto tidak senonohnya yang ternyata foto tersebut adalah editan AI.

Bagaimana dengan BEM FMIPA UNY dan BEM KM UNY? Kedua ormawa tersebut dinilai tidak sigap dalam merespon kasus ini. BEM FMIPA UNY yang merupakan tempat bernaung MF dinilai memberikan pernyataan yang kurang tegas, bahkan dinilai melindungi MF. Kemudian, BEM KM UNY yang dianggap memiliki akses lebih terhadap penanganan kasus kekerasan seksual dinilai melempar tanggung jawab karena MF bukanlah fungsionarisnya. Menurut saya, sikap yang diambil kedua ormawa tersebut masih dapat diperdebatkan. Namun, adanya kasus ini memberikan label buruk terhadap Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Banyak pula orang yang mencampuradukan sentimen pribadinya untuk menyalahkan BEM ataupun fungsionarisnya yang belum tentu ada kaitannya dengan kasus tersebut

            Kasus ini akhirnya trending dan menjadi isu nasional yang menarik banyak pihak. Ada beberapa akun X yang melakukan “investigasi kecil-kecilan”. Hasilnya adalah berikut ini

  • Menfess dikirim oleh @AkunSambatUeu. Akun tersebut janggal karena merupakan akun alter yang bermuatan pornografi. Dalam cuitannya, dia mengaku sebagai teman korban dan membantunya speak up.
  • Cuitan yang ditulis di menfess dan bukti screenshot chat pelaku kekerasan seksual memiliki gaya pengetikan yang sama, mulai dari penggunaan tanda titik dan koma, kapitalisasi huruf, dan beberapa penulisan kata/frasa. Ada indikasi bahwa bukti screenshot chat pelaku kekerasan seksual direkayasa oleh satu orang yang sama.
  • MF tidak dapat dibuktikan bersalah apabila korbannya tidak melapor. Dalam konteks ini, terdapat pro dan kontra apabila dipandang dari psikologis korban. Namun, setelah eskalasi kasus ini makin naik, “korban” dianggap menghilang.
  • Biasanya, dalam proses speak up kekerasan seksual, “korban” telah memiliki support system untuk berbagi cerita dengan valid. Namun, dalam kasus ini hanya @AkunSambatUeu satu-satunya sumber yang dapat menjelaskan kekerasan seksual yang dilakukan MF.

Masih ada beberapa detail lain terkait kejanggalan bukti-bukti yang disajikan dan dinarasikan oleh @AkunSambatUeu, kejanggalan tersebut membuat masyarakat bingung dan terpecah belah. Bahkan, memunculkan asumsi-asumsi liar lainnya. Selanjutnya, langkah yang dilakukan MF adalah melakukan klarifikasi dan melapor ke Polda DIY karena dirinya merasa difitnah atas tuduhan kekerasan seksual. MF selangkah lebih maju dari pihak “korban”. Dengan melapor ke kepolisian, maka segera dilakukan penelusuran dan penyelidikan untuk mengungkap siapa dibalik @AkunSambatUeu. Langkah yang dilakukan MF ini masih menimbulkan pro-kontra di kalangan public. Ada yang mendukungnya, tetapi ada yang menganggapnya sebagai langkah untuk mencari “bekingan” agar perbuatannya tidak terungkap.

Asumsi masyarakat masih liar hingga tahap ini. Cuitan terakhir @AkunSambatUeu menyatakan bahwa “korban” MF sedang melapor ke pihak kepolisian. Namun, apa yang terjadi setelahnya cukup mengejutkan. Pada 13 November, Polda DIY melakukan konferensi pers. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa MF tidak terbukti melakukan kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual yang diunggah ke @UNYmfs adalah hoax dan fiktif belaka. Orang dibalik @AkunSambatUeu sekaligus pengunggah kasus tersebut adalah RAN yang akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Motifnya adalah sakit hati karena RAN ditolak saat mendaftar BEM, sedangkan MF diterima. Sakit hatinya berlanjut saat RAN ditegur MF dalam salah satu acara kepanitiaan milik BEM FMIPA UNY.

Respon yang diberikan masyarakat saat kasus ini terungkat tidak sebanding dengan saat mereka menghakimi MF. Sepengamatan saya, belum sampai 50% dari mereka yang bertanggung jawab atas perbuatannya dan meminta maaf kepada MF. Masih ada segelintir orang yang menyangkal kebenaran kasus ini. Dalam menanggapi kasus kekerasan seksual, kita memang diharuskan untuk berdiri di pihak korban. Namun, tidak dibenarkan untuk merundung pelaku apalagi belum dapat dibuktikan bersalah. Dalam hukum, terdapat asas praduga tidak bersalah. Setiap individu dianggap tidak bersalah sampai adanya bukti yang kuat dan putusan pengadilan yang menyatakan sebaliknya.

Sesuai dengan kronologi kasus yang telah saya paparkan, terlihat jelas bahwa literasi masyarakat kita sangat memprihatinkan. Benar bahwa budaya tutur kita lebih dikenal dibanding budaya baca dan tulis. Namun, budaya tutur memiliki banyak keterbatasan dibanding budaya baca dan tulis, salah satunya adalah rendahnya tingkat akurasi dan presisi informasi. Hal tersebut dapat menyebabkan miskonsepsi dalam memahami konteks secara keseluruhan. Masyarakat kita seharusnya belajar dengan lebih baik dalam menerima informasi-informasi yang sensitif agar tidak mudah dipecah belah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun