Mohon tunggu...
Muhammad Rafly Gibrant
Muhammad Rafly Gibrant Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa di Universitas Padjadjaran

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Program Makan Siang Gratis : Sebuah Janji Besar dengan Tantangan Besar

5 Januari 2025   01:05 Diperbarui: 5 Januari 2025   01:06 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dicanangkan Presiden terpilih Prabowo Subianto menjadi program unggulan dan langkah yang diambil untuk mengurangi stunting dan memperbaiki kualitas gizi siswa sekolah merupakan kebijakan ambisius yang membawa banyak harapan, kebijakan ini diproyeksikan mencakup jutaan anak dan ibu hamil Indonesia, terutama mereka yang berasal dari keluarga prasejahtera. Dengan anggaran sebesar Rp.71 triliun, program ini terlihat ambisius di atas kertas, tetapi sejauh mana kita mampu menjamin efektivitas dan keberlanjutannya? Apakah pemerintah benar-benar telah memperhitungkan keterbatasan fiskal negara dan kompleksitas pelaksanaan di lapangan, ataukah ini hanya sekadar kebijakan populis yang akan tergerus oleh kenyataan ekonomi?

Dalam sebuah negara dengan tingkat pendapatan per kapita yang masih rendah dan rasio pajak yang tertinggal dibanding negara lain, kebijakan seperti MBG harus dihadapkan pada pertanyaan fundamental: Apakah kita mampu menjalankan program ini secara berkelanjutan tanpa membebani anggaran negara secara ceroboh? Apakah kebijakan ini dirancang untuk menjawab akar masalah gizi buruk atau hanya berfokus pada solusi jangka pendek yang tidak menyentuh sumber permasalahan?

Alih-alih menjadi langkah strategis yang menyeluruh, program ini tampak seperti sebuah janji politik yang terburu-buru. Dengan biaya per porsi yang terus ditekan menjadi Rp10.000, bagaimana kita bisa memastikan makanan yang diberikan benar-benar bergizi? Lebih dari itu, apakah kita sedang melangkah menuju jebakan kebijakan yang penuh dengan pemborosan dan inefisiensi?

Anggaran Besar, Bagaimana Realisasinya?

Berdasarkan RAPBN 2025, pemerintah menetapkan biaya sebesar Rp10.000 per porsi untuk makanan bergizi dalam program ini, turun dari rencana awal Rp15.000 per porsi. Keputusan ini jelas menunjukkan adanya keterbatasan anggaran, seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar, bahwa APBN memiliki kapasitas terbatas untuk mendukung program ini secara penuh.

Penurunan anggaran per porsi ini menimbulkan dilema serius. Dengan biaya logistik yang tinggi, terutama di daerah terpencil, sulit membayangkan bagaimana Rp10.000 dapat memenuhi kebutuhan gizi standar yang layak. Harga bahan pokok di Indonesia, menurut BPS, terus mengalami fluktuasi, dengan kenaikan harga signifikan pada komoditas seperti telur, daging ayam, dan sayuran. Kondisi ini membuat biaya bahan makanan untuk satu kali makan sehat kian sulit dipenuhi dengan anggaran yang ada.

Jika dibandingkan dengan negara lain, program makan siang gratis di Jepang melalui Kyushoku menawarkan makanan bergizi dengan pengawasan ketat. Biaya yang dikeluarkan rata-rata 300-500 per porsi (sekitar Rp35.000-Rp50.000). Namun, perlu dicatat bahwa pemerintah Jepang hanya membiayai sekitar 50% dari total biaya makan siang tersebut, dengan sisanya ditanggung oleh sekolah dan orang tua murid. Model pendanaan berbagi ini memungkinkan pemerintah Jepang untuk menjaga kualitas tanpa harus sepenuhnya membebani anggaran negara. Pertanyaannya, apakah Indonesia, dengan kapasitas pendaaan yang lebih terbatas, dapatkah Indonesia melaksanakan program ini tanpa menurunkan kualitas yang diinginkan demi mengatasi angka kurang gizi dan stunting?

Mengatasi Stunting, Edukasi harus menjadi Prioritas

Stunting di Indonesia tetap menjadi masalah besar dengan prevalensi 21,6% pada 2022. Namun, apakah masalah ini dapat diselesaikan hanya dengan menyediakan makanan gratis? Data UNICEF menunjukkan bahwa stunting seringkali disebabkan oleh kombinasi faktor, termasuk kurangnya pengetahuan tentang pola makan sehat, sanitasi buruk, dan praktik pemberian makanan yang tidak tepat.

Program MBG tampaknya mengabaikan elemen-elemen ini. Alih-alih berfokus pada penyediaan makanan langsung, pemerintah seharusnya mempertimbangkan edukasi gizi sebagai bagian dari strategi pencegahan. Diperlukan kurikulum nutrisi yang dirancang untuk mengajarkan anak-anak dan orang tua pentingnya pola makan seimbang. Mutia A. Sayekti, MHEcon, peneliti dari Indonesian Health Economist (InaHea), menyatakan bahwa rendahnya literasi kesehatan merupakan akar dari berbagai masalah malnutrisi di Indonesia. Selaras dengan klaim tersebut, Profesor Ahmad Sulaeman, Guru Besar Keamanan Pangan dan Gizi di Fakultas Gizi dan Ekologi Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan bahwa pemenuhan gizi seimbang di Indonesia masih belum optimal. Hal ini disebabkan oleh pola konsumsi yang kurang bervariasi dan rendahnya tingkat literasi gizi di masyarakat. Kondisi ini berdampak pada tingginya angka kekurangan gizi di satu sisi, namun juga diikuti dengan meningkatnya jumlah penderita obesitas. Rendahnya literasi gizi menyebabkan masyarakat sering kali mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang seimbang. Oleh karena itu, penting untuk tidak hanya menangani masalah gizi saat ini, tetapi juga mencegah terulangnya masalah tersebut di masa depan melalui edukasi dan penyuluhan gizi yang lebih intensif.

Efisiensi Anggaran, Efektifitasnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun