Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia selalu menjadi momen penting dalam sejarah politik Indonesia. Salah satu aspek kunci dalam Pemilu adalah Parliamentary Threshold atau ambang batas parlemen. Ambang batas ini menjadi penentu bagi partai politik yang ingin mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pada Pemilu 2024, Parliamentary Threshold kembali menjadi topik perbincangan yang hangat.
Parliamentary Treshold  merupakan syarat perolehan suara minimum yang dibutuhkan tiap partai politik untuk mendapatkan kursi di parlemen atau badan legislatif yang bertujuan untuk mengontrol jumlah partai politik yang mendapat perwakilan di parlemen supaya tidak terlalu banyak, dalam upaya mencegah fragmentasi politik yang berlebihan sehingga mempersulit proses pengambilan keputusan bila jumlah parpol yang lolos terlalu banyak.Â
Dengan kata lain, ambang batas tersebut dimaksudkan untuk memperkuat dan menjamin stabilitas politik dengan memberikan kesempatan kepada partai-partai yang lebih besar dan kuat untuk mengontrol proses pengambilan keputusan di parlemen sehingga memudahkan pembentukan koalisi yang stabil.
Namun di sisi lain, penerapan ambang batas parlemen juga dapat menimbulkan ancamandalam hal keterwakilan yang demokratis. Ambang batas yang terlalu tinggi dinilai dapat menghalangi partai-partai kecil atau minoritas untuk memperoleh keterwakilan yang proporsional, sehingga memicu ketidakpuasan politik dan melemahkan legitimasi sistem politik.
Parliamentary Threshold pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada Pemilu 2009 dengan tujuan untuk menyederhanakan sistem multipartai yang kompleks, mengingat secara historis, sejak reformasi, Indonesia dihadapii dengan menjamurnya Partai Politik baru sehingga membentuk kompleksnya sistem multipartai. Awalnya, Ketentuan besarnya ambang batas ini ditetapkan sebesar 2,5%. Lalu, pada  Pemilu 2014, ambang batas ini dinaikkan menjadi 3,5%, dan pada Pemilu 2019, meningkat lagi menjadi 4%.Â
Namun, Hal yang menarik sepanjang pembentukan "besaran" ambang batas tersebut, tidak pernah ada alasan yang rasional mengenai di mana ambang batas parlemen dirumuskan, hal ini pula yang menjadi dasar gugatan Perludem dalam Sidang Uji Materiil UU Pemilu yang digelar Kamis, 29 Februari 2024. Dimana gugatan tersebut menuntut melakukan perbaikan terhadap ketentuan ambang batas parlemen di dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, dengan merumuskan besaran angka ambang batas parlemen di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum berdasarkan perhitungan rasional matematis dan dilakukan secara terbuka, jujur, dan adil sesuai dengan prinsip sistem pemilu proporsional
Dalam setiap upaya perubahan besaran ambang batas pada undang-undang ini selalu terjadi perdebatan antara partai besar dan partai kecil. Dimana partai besar menginginkan kenaikan ambang batas parlemen untuk meminimalisir partai masuk parlemen, sedangkan partai kecil menginginkan ambang batas parlemen diturunkan agar bisa bertahan.
Menurut Burhanuddin Muhtadi, direktur eksekutif Indikator Politik Indonesia, salah satu alasan penetapan ambang batas 4% adalah untuk menguatkan sistem presidensial agar tidak terlalu banyak 'pemain' di DPR. Namun, pada kenyataannya, fragmentasi politik tetap tinggi, jika Parliamentary Threshold bertujuan untuk menyederhanakan partai, namun faktanya menyatakan bahwa besarnya Parliamentary Threshold yang selalu meningkat dari 2,5% menjadi 3,5% dan naik lagi menjadi 4% berdampak pada jumlah partai di parlemen yang juga meningkat. Sebagaimana pada tahun 2019 peserta pemilu sebanyak 16 orang, maka pada tahun 2024 peserta pemilu berjumlah 18 orang. Artinya, kenaikan ambang batas parlemen tidak signifikan sesuai dengan tujuannya untuk menyederhanakan partai politik di Indonesia.Â
Bila kita kembali pada alasan awal Parlementary Treshold yang motivasinya adalah penyederhanaan partai. Namun apakah PT adalah satu satunya variable yang mempengaruhi penyederhanaan partai? Menurut Heroik M.Pratama (Peneliti Senior Perludem) dalam diskusi "Alasan Perludem Uji Materi Ambang Batas Parlemen (Parliamentary Threshold) ke Mahkamah Konstitusi" masih ditemukan indikasi sistem multipartai yang ekstrim sejak pemilu 2004 hingga 2019. Hal ini dikarenakan komposisi kursi di dalam parlemen masih mengindikasikan multipartai yang ekstrim, karena banyaknya jumlah partai di parlemen yang dapat mempengaruhi jalannya fungsi fungsi parlemen secara signifikan. Dan hal ini tentunya meniscayakan fragmentasi politik dalam palemen. Malahan, Kemungkinan yang nyatanya terjadi pada Parliamentary Treshold ini adalah banyaknya suara yang terbuang sehingga menimbulkan ketidaksetaraan akses terhadap perwakilan dan pengambilan keputusan politik, serta meningkatnya ketidakpuasan dan ketidakpercayaan terhadap proses demokrasi.
Parliamentary Threshold di Indonesia tetap menjadi isu penting dalam perdebatan politik. Secara konstitusional, Parliamentary Threshold tidak bertentangan dengan UUD. Namun, masalahnya adalah besarannya yang sering kali dianggap datang tanpa basis yang jelas., perdebatan yang terjadi hanya soal besaran angka, dan pembahasannya hanya sebatas pada akses parpol  tanpa menghitung dampaknya terhadap prinsip pemilu proporsional dan suara pemilih yang terbuang.  Meskipun memiliki tujuan untuk menyederhanakan sistem politik dan memperkuat stabilitas pemerintahan, ambang batas ini juga membawa tantangan tersendiri terkait proporsionalitas representasi politik dan keberagaman. Oleh karena itu, penting bagi semua pihak untuk terus mengawasi dan mengevaluasi implementasi Parliamentary Threshold agar dapat menemukan keseimbangan yang tepat antara efisiensi politik dan inklusivitas demokratis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H