Hingga pada abad ke-16 dan ke-17 orang-orang Kamboja dan Siam mempercayai bahwa memiliki rambut panjang berkaitan erat dengan kedewasaan serta kekuatan spiritual. Hal senada pula dipercayai oleh orang-orang di daerah samudera Pasifik lainnya. Semakin gondrong rambut seorang lelaki, kekuatan dalam dirinya semakin "berilmu". Pada masyarakat di Nusantara, pola ini seolah dilestarikan. Di Buton, para pengawal sultan di abad ke-17, adalah mereka-mereka yang jago-jago dan memiliki rambut gondrong.
Dalam dunia modern, gondrong identik dengan gaya nyentrik. Pada tahun 1990-an, kasus penembakan mereka yang gondrong yang memiliki tato terjadi utamanya di Jakarta. Dan dalam statistik kepolisian, pada waktu yang sama kasus kejahatan menurun drastis. Menjadi gondrong yang bertato, seolah siap menyetor nyawa. Jakarta pada masa tersebut masuk fase menarik. Angka kejahatan dan brandal anyep untuk sementara. Memiliki rambut gondrong dan bertato jadi momok ketakutan tersendiri.Â
Tato dan gondrong sendiri sebenarnya punya akar sejarahnya sendiri di Asia Tenggara. Misalnya, penggunaan tato sebagai simbolisme asal adat dan status seseorang di masyarakat adat telah digunakan oleh orang-orang pedalaman di Nusantara dan umurnya jauh lebih lama dari masuknya agama Islam dan Kristen.
Pada masyarakat yang telah masuk Islam dan Kristen sekalipun, gondrong adalah semacam simbol raja ataupun sultan. Dahulu, para raja dan sultan itu berambut gondrong yang dililit dan ditutup dengan topi kebangsaan kerajaan atau kesunan, cuma sayangnya, raja dan sultan sudah tidak lagi menggunakan tato. Raja dan sultan lebih bersih dari gambar-gambar di tubuh mereka. Sedangkan penggunaan tato hingga hari ini masih dipertahankan oleh mereka yang tinggal di pedalaman dan belantara hutan di Nusantara.
Meski demikian, mau memiliki gondrong ataupun bertato pada hari ini, nampaknya hanya soal pilihan masing-masing atas dirinya sendiri. Stereotipe kepada kedua hal itu selalu sama. Tampak buruk, jorok, aut-autan. Namun bila kita mau fear dengan pendapat kita, selama mereka yang memilih gondrong dan bertato masih cukup bersih dengan mandi dan mewangi, rasanya stereotipe tersebut hanya soal selera. Gak lebih. Mungkin kemudian ada faktor lain yang membuat mereka, ok fix potong rambut atau hilangin tato. Apapun itu, jangan lupa bahagia. Percuma juga kan punya tato tapi gak bahagia. Atau gak punya tato tapi gak bahagia. Punya rambut gondrong atau tidak tapi sama sekali gak bahagia.Â
Hidup kok nelangsa banget, soal pilihan yang gak harus dipilih
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H