Tak pernah terbayangkan sebelumnya bagaimana rupa negara-negara di Arab atas gempuran beragam fenomena sosial yang kemudian membuat mereka berada dalam kondisi keotik, apalagi membayangkan bila gempuran tersebut telah menciptakan satu klas baru di negara tumbuh yang subur beragam agama Abrahamisme dari Yahudi, Nasrani hingga Islam.
Dalam laporan Brian Whittaker, The Rise of Arab Atheism (29 Juni 2015) menunjukkan poling WIN/Gallup 2012, bahwa "kaum ateis Arab semakin menampakkan diri, terutama karena media sosial. Muncul juga bilangan mereka semakin meningkat. Berdasarkan wawancara di sana, 19% mengatakan tidak lagi beragama dan 5% menggambarkan diri mereka sebagai kaum ateis" laporan Brian Whittaker tersebut tentu bisa diperdebatkan selisih ateisme di dunia Arab. Namun, dalam laporan lain dari Muhammad Omar al-Amoudi, menunjukkan bahwa dunia Arab yang sangat kental dengan sistem agama yang kuat, entah Yahudi, Nasrani dan Islam sedikit mengalami pergeseran nilai. Peminat atheisme menjadi pilihan alternatif dibalik kekerasan dan pengaruh budaya non Arab di sana.
Laporan Muhammad Omar al-Amoudi cukup menarik, peminat atheisme kebanyakan adalah para kaum intelektual yang mempertanyakan banyak hal dalam hidup mereka dan membenturkan antara ritual keagamaan dengan fakta sosial di sana. Fakta sosial tersebut kemudian menjadi semacam cambukan dan bom ranjau darat yang sering meledak. Peperangan antar sesama saudara, pembunuhan, pembantaian etnis membuka kran semua itu. Di sisi lain, gempuran media sosial dengan segala kemajuannya menyuguhkan tampilan-tampilan kemajuan negara lain, daerah lain di luar jazirah Arabia. Fakta ini, mendorong masyarakat muda mempertanyakan banyak hal dalam hidup mereka.
Dalam tulisan menarik lainnya, Syafi'i Ma'arif, Krisis Arab dan masa depan dunia Islam (2018), menyoroti intelektual asal Iran yang kemudian memilih menjadi atheis dan pindah dari negara Mullah itu ke Kanada, di sana Dr Ali Sina tumbuh dengan budaya yang jauh berbeda dengan sewaktu tinggal di Iran. 2006, saat Dr Ali Sina membuat buku Understanding Muhammad: A Psycobiography of Allah's Prophet (2008), kita bisa mendapati alasan seorang intelektual Iran kemudian pindah dari pemeluk agama yang ta'at menjadi seorang ateis.
Dunia Arab dengan segala bentuk kekerasan dan akar sejarahnya, tentu bukan sebuah jejak yang cukup baru untuk berpindah dari beragama kepada tidak beragamaan. Namun, lebih jauh dari itu semua, nampaknya pilihan untuk menjauh dari agama dianggap pilihan alternatif dari berbagai bentuk nilai kekerasan yang semakin meningkat oleh beberapa orang terlebih lagi para kaum muda. Arab mengalami dua tantangan, satu merupakan tantangan global yang menyodorkan kemajuan yang tampak hijau dan yang kedua adalah fenomena kekerasan, pembunuhan dan aksi-aksi yang tak jauh dari darah terus berlangsung. Dua tantangan ini harus dihadapi oleh kaum muda dan intelektual, terlebih lagi, mereka yang memiliki akses yang cukup baik sekarang ini untuk melihat dunia luar jauh lebih terang.
Pertanyaan kita ajukan, apa yang akan terjadi di masa depan bila kekerasan semacam di Yaman, Suriah, Irak berlangsung dan terus terulang di dunia Arab? Masa depan negara-negara di semenanjung jazirah Arab mungkin akan sama seperti sediakala yang seolah tak berujung. Agama semestinya membawa pesan perbaikan pada individu, lebih-lebih pada kelompok dan negara. Dan bila agama malah terlihat berbeda dengan yang seharusnya damai dan indah, boleh jadi, fenomena ateis dalam laporan Brian Whittaker, The Rise of Arab Atheism (2015) tersebut akan terus meningkat dari tahun ke tahun. Kecuali, mukjizat dan hidayah datang kepada individu yang sedang bergulat dengan pertanyaan berbagai fenomena -
Kompasiana: MuhammadAli
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H