INI pengalaman beragama saya, salah satu yang paling sering saya temui entah dari teman seperjalanan, teman beradu pikiran dan teman bermain, semuanya punya hal menarik untuk diceritakan dan dibagikan.
Nah, salah satunya adalah teman SMA saya dulu, yang saya tahu dia begitu jancok dalam hidupnya, lalu tiba-tiba saya dapati dia hari ini dengan segala macam atribut keagamaan. Dia sudah berbeda. Sudah tampak berbeda dari segi penampilan. Yang dulunya jancok, sekarang sudah ngalim.
Syahdan, suatu hari teman saya ini ngajak saya jalan ke saudaranya. Dengan motor kepunyaannya, dia cerita soal kehijrah yang dia alami hingga mengubah cara dia berpenampilan. Saya yang dibonceng cuma senyum-senyum. Salah satu yang sering saya dengar dari mulutnya adalah Sunnah.
Dia menyebut-nyebut kata Sunnah berulang-ulang. Sedikit menjelaskan beberapa perkara, dia lantas mengakhirinya dengan kata, ini Sunnah nabi. Saya hanya bisa senyum. Saya faham dia sedang berdawah kepada saya yang dia anggap tidak berpenampilan Sunnah, dengan celana jeans dan kaos oblong.
Saat sampai di rumah saudaranya dia masuk dan ngobrol lalu kita ke masjid buat sholat Isya. Di masjid, dia tanya ke saya, mengapa saya gak sholat Sunnah?
Lalu saya jawab, gak saja. Lalu dengan mimik wajah yang tiba-tiba memerah dia tanya ke saya, "kamu tahu, apa arti Sunnah, itu?" Saya jawab, "Bila kita kerjakan mendapatkan pahala. Dan bila kita tinggalkan, tidak mendapatkan dosa". "itu bukan pengertian Sunnah!" Katanya dengan agak geram. Saya cuma senyum.
Singkat cerita, dia ajak saya makan. Dia menjelaskan panjang lebar soal Sunnah yang dia pahami, untuk menutup kata-katanya dia menyebutkan bahwa, "Kata nabi, barang siapa yang tidak mengikuti Sunnah ku, buka. Dari golonganku". Setelah itu hening. Syi'ar dakwah yang dibawakan teman SMA saya ini cukup baik, dan sudah barang tentu saya harus merespon baik dakwah yang dibawakannya itu.
"Tapi, bang. Abang makan bakso pakai sendok dan garpu. Itu bukan Sunnah nabi. Nabi dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa, nabi makan menggunakan tiga jarinya. Sekali lagi, tiga jarinya. Sedangkan Abang menggunakan sendok, bukan dengan tiga jari saat makan bakso. Berarti Abang Sekarang tidak menjalankan Sunnah nabi saat makan?" Teman saya tiba-tiba wajahnya berbalik memerah.
"Kata nabi, barang siapa yang tidak mengikuti Sunnah ku, dia bukan bagian dari golongan ku" kata saya sembari melanjutkan makan kuah bakso dengan begitu lahap.
Di atas motor selepas tragedi makan bakso, dia yang dari awal banyak cerita sunnah tidak lagi bercerita apa-apa. Kami, saya dan dia tentunya, tenggelam dalam hening dan malam yang peket. Saya paham ini awal dari sebuah kejadian lagi dikemudian hari yang lebih seru dan menambah pengetahuan kita soal banyak hal.
Saya sama sekali tidak membenci dia. Bahkan masih senyum-senyum bila bertemu dengannya. Namun, respon balik dia nampak jauh berbeda. Sunnah nabi semestinya mengeratkan kita, bukan malah menganggap paling benar atau paling Sunnah -