Mohon tunggu...
Muhammad Andi Firmansyah
Muhammad Andi Firmansyah Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Ilmu Politik

Live to the point of tears.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Melankolis

14 September 2023   17:11 Diperbarui: 15 September 2023   21:08 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang tersayang, Micah.

Belum lama aku mengobrol dan bercanda, tertarik dan terhibur dengan berbagai macam hal. Kini aku menatap pepohonan dan daun-daunnya yang jatuh; mereka gugur terlalu muda seakan merekalah, bukan angin atau sebab-sebab alamiah lain, yang memutuskan sendiri untuk jatuh.

Aku berharap bisa berdoa, tapi tak tahu untuk apa atau kepada siapa. Putus asa, lelah, dan acuh tak acuh, aku merasa aneh bahwa aku bisa saja terhibur oleh apa pun beberapa menit lalu, dan lebih aneh lagi aku harus bangun esok hari dan menjalani rutinitasku.

Hal terburuk dari semuanya, tenggorokanku terasa sesak dan punggungku seperti memikul beban seisi bumi. Mataku, O Semesta Mungilku, selayaknya timah sampai aku sendiri hampir tak bisa mengangkatnya dari tanah. Bisakah sebentar saja kutinggalkan tubuh?

Apa yang telah terjadi padaku?

Tak ada, tak ada apa-apa. Hanya satu atau dua hal kecil. Sesuatu menghalangi jalanku, tapi hampir tak patut untuk disebutkan; sesuatu yang tak kuharapkan, sesuatu yang sedikit menyakitiku, sesuatu yang terus bersemayam di pikiranku.

Tak ada apa-apanya, sungguh, kalau kau menghitung semuanya. Jika aku membuat daftarnya dan menjumlahkan semuanya, itu tak akan jadi alasan yang layak untuk bersedih. Bukan apa-apa. Tapi kadang itu terlalu banyak buatku.

Tak layak disebutkan, sungguh; tapi, kau tahu, hidup adalah sesuatu yang agak mengerikan, eh?

Tentang kakakku, perempuan yang amat kau kagumi itu, ketika ia bilang bahwa "semuanya adalah kesia-siaan", pada hari itu tak ada hal buruk yang sedang menimpanya. Ia punya rumah kelas atas, suami tercintanya tak meninggal, ia tak merasakan sakit apa pun.

Tak ada apa-apa, tak ada yang serius. Bahkan sebenarnya, tak ada yang terjadi padanya di hari itu. Hanya saja, mungkin, ia telah membaca kebodohan dan tipu daya takdir, kemunafikan suaminya, ketololan teman-temannya, kekosongan pada setiap sudut kehidupan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun