Yang tersayang, Micah.
Belum lama aku mengobrol dan bercanda, tertarik dan terhibur dengan berbagai macam hal. Kini aku menatap pepohonan dan daun-daunnya yang jatuh; mereka gugur terlalu muda seakan merekalah, bukan angin atau sebab-sebab alamiah lain, yang memutuskan sendiri untuk jatuh.
Aku berharap bisa berdoa, tapi tak tahu untuk apa atau kepada siapa. Putus asa, lelah, dan acuh tak acuh, aku merasa aneh bahwa aku bisa saja terhibur oleh apa pun beberapa menit lalu, dan lebih aneh lagi aku harus bangun esok hari dan menjalani rutinitasku.
Hal terburuk dari semuanya, tenggorokanku terasa sesak dan punggungku seperti memikul beban seisi bumi. Mataku, O Semesta Mungilku, selayaknya timah sampai aku sendiri hampir tak bisa mengangkatnya dari tanah. Bisakah sebentar saja kutinggalkan tubuh?
Apa yang telah terjadi padaku?
Tak ada, tak ada apa-apa. Hanya satu atau dua hal kecil. Sesuatu menghalangi jalanku, tapi hampir tak patut untuk disebutkan; sesuatu yang tak kuharapkan, sesuatu yang sedikit menyakitiku, sesuatu yang terus bersemayam di pikiranku.
Tak ada apa-apanya, sungguh, kalau kau menghitung semuanya. Jika aku membuat daftarnya dan menjumlahkan semuanya, itu tak akan jadi alasan yang layak untuk bersedih. Bukan apa-apa. Tapi kadang itu terlalu banyak buatku.
Tak layak disebutkan, sungguh; tapi, kau tahu, hidup adalah sesuatu yang agak mengerikan, eh?
Tentang kakakku, perempuan yang amat kau kagumi itu, ketika ia bilang bahwa "semuanya adalah kesia-siaan", pada hari itu tak ada hal buruk yang sedang menimpanya. Ia punya rumah kelas atas, suami tercintanya tak meninggal, ia tak merasakan sakit apa pun.
Tak ada apa-apa, tak ada yang serius. Bahkan sebenarnya, tak ada yang terjadi padanya di hari itu. Hanya saja, mungkin, ia telah membaca kebodohan dan tipu daya takdir, kemunafikan suaminya, ketololan teman-temannya, kekosongan pada setiap sudut kehidupan.