Itulah mengapa ketika anggaran terbatas, prioritas pendanaan pendidikan biasanya diarahkan pada STEM. Investasi di bidang STEM, katanya, sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi. Ini didasarkan pada beberapa asumsi.
Pertama, kita sedang bersaing dengan negara lain dalam hal keterampilan ilmiah dan teknis, dan kita tertinggal. Kedua, sains dan humaniora dimasukkan ke dalam permainan zero-sum: jika STEM sangat penting, maka mata pelajaran lain pasti kurang penting.
Ketiga, universitas dipandang bukan bagian dari “dunia nyata”, melainkan suatu fase yang mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi dunia nyata. Universitas hanyalah penunjang karier yang menjanjikan bagi lulusannya, dan itu ada di bidang STEM.
Humaniora dianggap sebagai embel-embel yang tak berguna, sehingga dapat dipangkas untuk memastikan negara kita tetap kompetitif dalam ekonomi global. STEM, sebaliknya, membuat setiap lulusan “siap kerja di hari pertama”.
Meski begitu, saya pikir pengagungan STEM seperti itu justru dapat menyempitkan peluang kita di masa depan. Bahkan, meminta mahasiswa untuk mendasarkan jurusannya pada tebakan apa yang akan dihargai oleh pasar kerja di tahun-tahun nanti acapkali tak masuk akal.
Ada beberapa tren yang konsisten. Keperawatan, misalnya, tetap menjadi pilihan yang solid bagi mereka yang menghindari risiko. Namun, jurusan lain mungkin tergolong rentan. Gelar ilmu komputer, walau naik cepat, sudah pernah jatuh sekali setelah kejatuhan dot-com.
Jadi, jika ada yang menjamin bahwa gelar sarjana ilmu komputer akan mudah memperoleh pekerjaan dalam dua-tiga tahun ke depan, sebaiknya kita tetap menggaruk-garuk kepala dan menahan kesimpulan. Tak ada yang benar-benar tahu bagaimana kondisi masa depan.
Memang, ada serangkaian studi yang memperkirakan bahwa pekerjaan yang fungsinya paling mirip dengan komputer adalah pekerjaan yang paling mungkin diotomatisasi. Tapi bidang mana yang tepatnya akan digantikan oleh mesin, tak ada yang benar-benar tahu.
Sebuah studi dari Universitas Oxford mungkin membantu. Mereka memeriksa pekerjaan apa saja yang rentan diotomatisasi dan kemahiran macam apa yang kemungkinan sangat berguna di masa depan. Kesimpulan mereka sederhana: kreativitas dan keterampilan sosial.
Ironisnya, fokus pada STEM semata, seperti yang ditekankan belakangan ini, tak mendorong daya kreatif dan justru mengisolasi pikiran pelajar. Pemikiran kritis dan kreatif ditumbuhkan oleh pendidikan umum, sejenis perpaduan kompleks antara saintek dan humaniora.
Paparan terhadap berbagai bidang menghasilkan sinergi dan pemupukan silang. Demikianlah, tentu saja, STEM merupakan komponen penting dalam pendidikan kita, tapi begitu juga seni, filsafat, dan sejarah.