Persahabatan bisa rusak karena beberapa hal: perubahan karier, pergeseran prioritas, terkikisnya komunitas-komunitas lokal, atau kecanduan media sosial. Namun, bibit masalahnya mungkin lebih sistemik dan sudah tertanam jauh sebelum era media sosial.
Saya pikir biang keladinya adalah kapitalisme.
"Tak ada hubungannya," kata seorang teman dengan tawa canggung saat saya bilang bahwa neo-liberalisme dan kapitalisme telah membuat hubungan manusia - termasuk persahabatan - jadi dangkal dan transaksional.
Pendapat saya harusnya tak terlalu mengejutkan. Para kritikus (bahkan sebagiannya pembela) kapitalisme telah lama berpendapat bahwa kapitalisme membawa virus mengerikan ke dalam masyarakat modern.
Erich Fromm, seorang psikolog sosial dan psikoanalis Jerman-Amerika, melihat kapitalisme sebagai alasan mengapa masyarakat modern jadi sangat individualis dan kompetitif. Terlepas dari manfaatnya, kapitalisme bikin orang merasa terasing, kesepian, dan tak berdaya.
Di sini saya akan menunjukkan bahwa kapitalisme telah mengubah cara kita berinteraksi satu sama lain. Konsekuensinya, ikatan persahabatan juga turut terpengaruh, dan sayangnya bukan pada arah yang baik.
Komodifikasi hubungan manusia
Kapitalisme biasanya dianggap sebagai sebuah sistem ekonomi, merujuk pada Adam Smith. Namun, seperti yang pernah diutarakan Karl Marx, kapitalisme juga merupakan sebuah mode dan cara hidup yang memengaruhi hubungan kita dengan orang lain.
Karena kapitalisme menjunjung individualisme dan kebebasan pasar, segala tujuan dan aspirasi individu biasanya lebih diutamakan ketimbang kepentingan kelompok. Dalam hal ini, walau bukan satu-satunya faktor, kapitalisme membawa lebih banyak kebebasan.
Pada zaman feodal, jika Anda terlahir dari keluarga tukang kayu, maka pekerjaan Anda nanti tak akan jauh berbeda. Tatanan sosial sudah diatur sedemikian rupa agar kebutuhan bersama dapat terpenuhi. Semua saling melengkapi, meski orang jadi kurang bebas.
Tatkala kapitalisme mendominasi, nasib setiap orang tak lagi bergantung pada nasib leluhur. Setiap orang harus berpijak di atas kaki sendiri. Jika nasibnya mujur, itu semata-mata (harus) karena usahanya sendiri, dan begitu pula sebaliknya.
Konon, andaikan semua orang diizinkan untuk bekerja secara bebas, kapitalisme akan menghasilkan kekayaan yang mengalir ke semua orang. Walau orang kaya jadi makin kaya, di bawah kapitalisme, orang miskin punya kesempatan untuk jadi kaya.
Dan berkat kapitalisme pula, kita sebenarnya telah mencapai banyak kemajuan penting, hal-hal yang bahkan tak terbayangkan oleh para pendahulu kita, misalnya pendaratan manusia di bulan dan koneksi nirkabel yang menghubungkan dunia.
Namun, semua itu ada harganya. Kapitalisme, sebagai sebuah ideologi dan cara hidup, terus mendorong kita untuk menghadapi dunia seorang diri, padahal manusia - secara biologis dan psikologis - tak tercipta untuk begitu.
Peninggian kapitalisme terhadap individu dan kompetisi acapkali mengubah hubungan sosial jadi seperti lingkungan pasar: orang berinteraksi hanya jika itu menguntungkan dirinya secara pribadi dan finansial, zero-sum game.
Alhasil, individu terpecah dan terisolasi. Orang lain dilihat bukan sebagai sumber dukungan, melainkan saingan yang harus dikalahkan dalam permainan yang tak ada habisnya. Menurut pengertian ini, kapitalisme mengabaikan kebutuhan esensial manusia: hubungan sosial.
Pikirkan tentang kota, tempat berkembangnya masyarakat kapitalistik. Kota-kota ini memberi kita kesempatan untuk mendapatkan uang sebanyak yang kita suka (dan tentu saja memberi kita tempat untuk membelanjakannya).
Namun, kota juga memisahkan kita dari keluarga kita. Kota memaksa kita untuk hidup di atas satu sama lain, bertumpu pada orang asing. Kita pindah ke kota untuk kehidupan yang lebih baik, tapi justru kita jadi lebih cemas, lelah, dan kesepian.
Perasaan itu sangat alami, tapi situasinya tidak. Di lingkungan perkotaan, jejaring sosial surut dengan cepat, orang-orang sibuk bekerja. Dan obsesi kita terhadap ponsel juga tak membantu sama sekali, malah kadang memperburuk situasi.
Di bawah kapitalisme pula, segala sesuatu memiliki label harga. Makanan, rumah, bahkan air pun ada harganya. Jadi harusnya tak terlalu mengejutkan jika saya memasukkan persahabatan ke dalam daftar tersebut.
Persahabatan di bawah kapitalisme
Dalam ekonomi, harga diatur oleh hukum permintaan dan penawaran. Jika sesuatu tak menguntungkan, maka tak ada harganya dan tak usah dipedulikan. Kini persahabatan dilihat seperti itu: kita berinvestasi di dalamnya jika kita memprediksi keuntungan besar.
Jika persahabatan tak menghasilkan keuntungan seperti yang kita duga, kita mungkin merasa berkewajiban untuk memutuskan persahabatan tersebut. Ini memang terdengar kejam, tapi ini juga sering terjadi.
Dengan budaya individualisme yang ekstrem, ikatan sosial dilebur, dan persahabatan dilihat dari sudut pandang kalkulasi biaya-manfaat. Kapitalisme menekan kita untuk memperlakukan persahabatan seperti sebuah spreadsheet Excel dan portofolio saham.
Ambil contoh "teman" media sosial kita. Mengapa kita menginginkan begitu banyak teman? Kita sebenarnya bisa saja puas dengan sepuluh pengikut di Instagram, tapi kebanyakan dari kita tidak. Kita menginginkan setidaknya beberapa ratus, mungkin puluhan ribu.
Jika kita ikut arus, saat kuantitas lebih penting daripada kualitas, memiliki banyak "teman" membuat kita merasa dilihat, diinginkan, dan bahkan sukses. Pandangan sempit ini bikin kita lupa tujuan sebenarnya dari persahabatan, yang sering kali tanpa alasan sama sekali.
Kapitalisme, dengan begitu, menurunkan persahabatan kita jadi kekayaan bersih, popularitas, atau pengaruh, daripada hubungan yang sesungguhnya. Keintiman, cinta, dan rasa memiliki memudar secara bersamaan di bawah fasad kapitalisme.
Karena segalanya didasarkan pada pertimbangan untung dan rugi, kita secara tak sadar dibuat untuk berasumsi bahwa jika seseorang berbuat baik kepada kita, maka mereka meminta suatu imbalan dari kita.
Psikolog sosial Margaret Clark dan Judson Mills punya istilah "exchange relationships", situasi ketika orang mencatat apa yang mereka masukkan dan keluarkan. Jika saya mentraktir Anda segelas kopi dengan harga 20 ribu, Anda merasa harus membalasnya.
Esok, Anda balik mentraktir saya segelas kopi dengan harga yang sama. Sikap seperti ini tak terlalu kontroversial dalam hubungan antara kenalan biasa. Wajar kalau Anda merasa berutang sesuatu pada saya.
Masalahnya, sikap seperti itu bukan tanda yang baik dalam sebuah persahabatan. Andai saya mentraktir Anda kopi dan esoknya Anda menyodori saya uang 20 ribu, itu tanda persahabatan kita berjalan tak baik.
Bukan berarti tak ada timbal balik dalam sebuah persahabatan, atau bahwa kita tak menyadari jika suatu persahabatan jadi terlalu timpang. Sebaliknya, sahabat sejati tak mencatat dengan cermat apa yang mereka lakukan untuk orang lain.
Lebih jauh lagi, menghitung atau membayar keuntungan, kecuali kita pedagang, sama sekali tak cocok dengan kriteria persahabatan yang erat. Saya dan sahabat saya, umpamanya, makan bersama setiap Kamis sore, dan kami sering bergantian membayar itu.
Namun tak satu pun dari kami yang ingat apakah biaya minggu ini jauh lebih mahal daripada minggu lalu, atau apakah salah satu di antara kami sering memilih makanan yang paling mahal di menu. Bahkan kadang kami tak ingat siapa giliran minggu ini.
Selain persoalan hubungan sosial yang jadi transaksional, dalam sistem kapitalis, kebanyakan orang juga tak punya waktu untuk bertemu keluarga dan mempertahankan persahabatan yang sudah ada, apalagi memulai persahabatan baru.
Sulit meluangkan waktu untuk bersua dengan orang lain ketika Anda, misalnya, lebih mementingkan kekayaan dan status sosial, serta akumulasi modal. Kapitalisme bikin orang jadi gila kerja, karena berbagai alasan, dan ini bikin persahabatan sering diabaikan.
Maksud saya tentang semua itu adalah, jika kita menganggap persahabatan sebagai investasi yang buruk, kurang bermanfaat, atau lebih baik menambah jam kerja daripada menghabiskan waktu bersama teman, ada yang salah dengan cara persahabatan kita di bawah kapitalisme.
Persahabatan senantiasa anti-kapitalistik
Kapitalisme berbahaya bagi persahabatan karena persahabatan itu sendiri memang tak cocok dengan kapitalisme. Bisa dibilang, persahabatan akan lebih baik jika mengikuti aturan sosialisme. Saya akan menyederhanakannya.
Setiap kali kita bergaul dengan teman-teman kita, kita tak berpartisipasi dalam pasar, dan ini berarti kita meruntuhkan struktur yang membuat hidup kita jauh lebih sulit dan kesepian. Di sini kita melawan budaya individualisme yang mengisolasi masyarakat modern.
Dengan sahabat, kita saling memberi atas dasar kepercayaan, kepedulian, serta kerja sama, bukan karena transaksi uang yang kita lihat di banyak bidang kehidupan lainnya. Kita peduli pada sahabat dan karenanya kita memberi tanpa mengharapkan imbalan.
Kepada sahabat, kita tak bertanya, "Apa yang bisa saya dapatkan dari hubungan ini?" Justru, kita bertanya, "Apa yang bisa saya lakukan?" Di dunia yang begitu ekonomis dan oportunis ini, persahabatan memungkinkan kita bertindak di luar pola pikir kapitalis.
Jika satu waktu Anda mengalami hari yang berat, saya akan pergi ke rumah Anda, menemani Anda sambil membuatkan makanan yang lezat. Jangan tanya apa yang bisa Anda lakukan di waktu lain untuk saya, atau berapa harga semua itu.
Dalam persahabatan, satu-satunya hal penting adalah diri Anda sendiri (person-qua-person). Saya membuatkan (atau membelikan) Anda makanan semata-mata karena kepedulian, dan pemberiannya adalah hadiah, bukan dagang.
Jika kapitalisme menghargai kedisiplinan dan keterampilan kita dalam menghasilkan banyak keuntungan, persahabatan jauh lebih berwarna daripada itu. Ya, mungkin persahabatan sama sekali tak memberi kita uang atau kebebasan finansial.
Tapi tujuan utamanya memang bukan itu. Keuntungan dari persahabatan bukanlah uang atau modal, melainkan kebahagiaan dan kesejahteraan, membuat kita jadi orang yang lebih baik, dan membantu kita merasakan kehidupan dan dunia.
Itu saja sudah cukup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H