Sejenak saya coba mengingat-ingat alasan saya menulis, lebih khususnya menulis di Kompasiana. Ini terasa seperti memancing ikan: saya tahu ikan yang saya cari ada di dalam kolam memori saya, tapi kadang butuh kesabaran untuk mendapatkannya (lagi).
Saya menunggu. Seperempat jam berlalu. Pagi begitu cerah dan karenanya saya bersedia untuk menunggu lebih lama lagi. Setengah jam berlalu. Matahari mulai naik dan atap-atap rumah menyilaukan mata saya. Ini baru pukul delapan, atau mungkin saya salah meresapi waktu.
Tak ada apa-apa yang muncul dalam kepala saya. Rasanya seperti ikan yang mendadak terlepas dari kait pancing: saya akan membiarkan mereka menyelam dalam-dalam agar kembali ke permukaan dengan lebih gemuk.
Satu-satunya yang sejauh ini jelas, meski sulit dikatakan secara pasti, adalah bahwa alasan-alasan tersebut sangat kekanak-kanakan. Dan memang waktu itu saya masih anak-anak yang baru tumbuh remaja. Bisa dibilang, kebetulan saja saya mulai menulis, dan masih begitu.
Dulu saya tak pernah melihat aktivitas menulis sebagai alat intelektual. Atau ringkasnya, saya tak pernah serius menilai dunia kepenulisan. Malah saya sering merasa betapa malangnya orang yang terjebak berjam-jam di meja-tulis hanya untuk merangkai kata-kata.
Saya belum tahu betapa bodohnya merencanakan hari-hari untuk terisolasi di kamar, hari-hari di mana satu-satunya aktivitas adalah berjalan empat atau lima langkah dari ranjang ke meja. Sekarang, dalam banyak kasus, prasangka itu berbalik kepada saya.
Tapi, saya jelas tak menyesalinya. Dalam kecintaan saya terhadap kepenulisan, ada sesuatu yang lebih besar ketimbang semua kekonyolan yang melekat padanya. Dan di sini saya ingin sedikit menceritakan "sesuatu yang lebih besar" itu, sesuatu yang membuat saya bertahan.
Merayakan absurditas
Sejak dulu, saya percaya ada sesuatu yang mulia dan misterius tentang menulis, tentang orang-orang yang bisa melakukannya dengan baik, yang bisa menciptakan dunia seolah-olah mereka adalah penyihir kecil yang punya ramuan ajaib tertentu.
Saya memikirkan Rumi dan Albert Camus. Keduanya jelas kontras dalam segala hal, kecuali barangkali dalam semangat mereka akan lirisisme. Tapi bagi saya, mereka punya ramuan aneh untuk membawa orang seperti saya keluar dari diri sendiri dan lalu menuntun pulang.
Sementara Rumi membawa saya pada ketenangan yang tak bisa diusik oleh gemerlapnya dunia, Camus justru menunjukkan kepada saya nyala sebuah semesta yang hangat sekaligus dingin, sebuah dunia yang absurd tapi sekaligus punya wewangian surgawi.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!